TRADISI
KEILMUAN SUNNY DAN SYI’I
MENUJU MASYARAKAT ILMIAH
(KAJIAN TENTANG MODEL-MODEL PENDIDIKAN)
MENUJU MASYARAKAT ILMIAH
(KAJIAN TENTANG MODEL-MODEL PENDIDIKAN)
Dra.
Siti ’Aisyah, M.Ag.
I. PENDAHULUAN
Tradisi
keilmuan dalam Islam muncul sejalan dengan lahirnya Islam, sejak wahyu pertama
diturunkan yang dengan jelas memerintahkan Nabi membaca dan belajar melalui
kalam. Islam secara doktrinal mengandung prinsip-prinsip keilmuan. Ayat-ayat
pertama yang diwahyukan Allah dan banyaknya ayat-ayat yang mengandung
pertanyaan retorik dari Allah semacam afalâ ta’qilûn (apakah
engkau tidak berakal) atau afalâ tatafakkarûn (apakah engkau tidak
berakal) serta sejumlah hadis yang relevan dengan tuntutan pencarian dan
pengembangan ilmu, menunjukkan bahwa Islam sangat mendukung pengembangan ilmu. 1)
Tradisi
keilmuan dalam Islam tampil dengan corak khas . Ia lahir dari perpaduan dan
dialektika ajaran-ajaran doktrinair al-Qur’an dan al-Hadis tentang
prinsipprinsip keilmuan dengan warisan budaya bangsa-bangsa di dunia semisal
Yunani, India, Cina, Persia, dan Eropa, yang menampilkan karakter ruh Islam
dalam wacana baru. Implikasinya, terdapat barmacam variasi tradisi keilmuan
Islam, sejalan dengan dialektika dan beragamnya kondisi sosial, ekonomi maupun
politik yang melingkunginya. Ada dua corak tradisi keilmuan yang secara makro
menggambarkan representasi dan kekayaan peradaban Islam yaitu tradisi keilmuan
tradisi keilmuan Sunny dan Syi’i. Dua grand pemikiran dan gerakan Islam tersebut
berkembang dalam wacana doktrin dan historisitas yang berbeda.
Embrio
pemikiran dan gerakan dua aliran Sunny dan Syi’i muncul ke permukaan sejarah
Islam ketika berkecamuknya sikap pro dan kontra terhadap pemegang kekuasaan
dengan basis agama pada masa khalifah Ali bin Abi Talib (35-41 H). Dengan
adanya perang Siffin dan kekalahan diplomasi dari pihak Ali terhadap
Mu’awiyyah, muncul kelompok pengikut Ali yang menolak abritase dan mendakwanya
telah mengkhianati tanggung jawab dan menodai kesucian tugasnya sebagai
pemimpin masyarakat muslim pilihan. Mereka memisahkan diri dari kelompok Ali
dan dikenal dengan Khawarij. Pada masa itu, ummat Islam telah terpecah menjadi
tiga blok politik yaitu Khawarij, Syi’ah, dan pendukung Umayah. 2)
Ditengah-tengah
konflik ketiga golongan tersebut, ada segolongan ulama Madinah, Kufah, Damaskus
dan Basrah, di bawah pimpinan Abdullah bin Umar menarik diri dari panggung politik
praktis dan beralih orientasinya pada pengkajian masalah-masalahn agama baik
dalam bidang hukum, tasawuf, maupun theologi. Para sarjana Barat menyebutnya
golongan moderat dan kelompok oposisi saleh. Disebut moderat karena anti pada
sikap-sikap ekstrim radikal. Sedangkan oposisi saleh karena para ulama tidak
mendukung kelompok manapun dan tidak menunjukkan sikap menentang secara
terbuka. Mereka terfokus pada kajian-kajian yang mengacu pada al-Qur’an dan
Sunnah. 3) Sejak saat itulah muncul aliran Sunny dan Syi’i dalam
masyarakat Islam. Sunny merupakan sebuah nama bagi kelompok muslim pendukung
sunnah yang dalam memahami agama mempunyai prinsip dasar mengambil jalan tengah
(wasaţan), berpegang pada asas keseimbangan yang mengacu pada al-Qur’an dan
Sunnah serta berusaha mencari perdamaian antara dua sisi ekstrim yang
bertentangan – yaitu antara naqal dan akal, antara dunia dan akherat serta
antara fikih dan tasawuf. Kaum Sunny dikenal juga dengan muslim ortodoks yang
pemikirannya berseberangan dan memposisikan sebagai oposisi dari Syi’ah,
Khawarij, dan Mu’tazilah yang disebut juga dengan heterodoks.4)
Kaum
Syi’i adalah para pendukung Imam Ali yang mengakui kepemimpinan legitimet
sepeninggal Rasulullah saw., ada pada khalifah Ali bin Abu Talib, bukan Abu
Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan ataupun yang lainnya.
Kepemimpinan ummat berlanjut secara turun temurun kepada keturunan Imam Ali bin
Abu Talib. Sampai Imam ke 12 yaitu Imam Muhammad Ibnu Hasan Al-Anșari. Imam
terakhir dikenal dengan Al-Mahdi sebagai Imam sepanjang masa. Menurut keyakinan
Syi’ah, Imam tersebut hilang sejak tahun 329 H, yang akan muncul kembali pada
akhir zaman untuk menyelamatkan ummat Islam. Pada masa vakum, jabatan Imam
diserahkan pada seorang ulama yang memiliki otoritas mengambil keputusan karena
kefaqihannya di bidang hukum Islam dan kemuliaan akhlaknya. 5)
Kedua
aliran Sunny dan Sy’i sampai sekarang menguasai dunia Islam, dalam wacana dan
wilayah kekuasaannya masing-masing. Pada masa klasik, Sunny dan Syi’ah,
sama-sama menguasai dunia pengetahuan dengan mendirikan madrasah setingkat
universitas yaitu Niýamiyyah di Bagdad yang beraliran Sunny, sebagai tempat
pendidikan dan propaganda Sunnyy; sementara Dârul-’Ilmi di Mesir sebagai tempat
pendidikan dan propaganda aliran Syi’ah. Meskipun memiliki tradisi berbeda, –
bahkan terkadang mengarah pada kompetisi dan konflik -, keduanya masih dalam
koridor Islam. Masing-masing menampilkan wacana tradisi keilmuan Islam dengan ikatan
aqidah dan sumber ajaran yang sama. Mempertemukan keduanya dalam satu wacana
keilmuan keislaman dengan karakteristiknya masing-masing, justru menunjukkan
keunikan Islam sebagai ajaran universal dan kosmopolit.
Tulisan
ini bermaksud menyajikan dua tradisi keilmuan Sunny dan Syi’i, khususnya
terkait dengan model-model pendidikan yang dikembangkannya. Untuk
mensosialisasikan dan ekspansi doktrin-doktrinnya, mereka menggunakan media
pendidikan. Model-model pendidikan yang dikembangkannya masing-masing memiliki
karakter khas baik dari segi institusi, kurikulum, maupun metodologi
pendidikannya.
II.
TRADIS KEILMUAN ISLAM
Islam
yang merupakan Dîn universal, memuat petunjuk yang mengatur seluruh aspek hidup
dan kehidupan manusia. Tradisi keilmuan dalam Islam muncul sejalan dengan
lahirnya Islam, sejak wahyu pertama yang dengan jelas dan tegas memerintahkan
Nabi untuk membaca dan belajar dengan perantaraan kalam. Ayat-ayat al-Qur’an
yang mengisyaratkan adanya prinsip-prinsip keilmuan ada 750 ayat, yang meliputi
berbagai cabang ilmu, semisal QS. Yâsîn/36:38-40 menerangkan dasar-dasar
astronomi; QS Al-Ambiyâ’/21:30 tentang ilmu alam, dan QS. Al-ijr/15:22 tentang
geografi.6)
Rasulullah
saw. adalah orang pertama yang memenuhi ajaran Al-Qur’an, karena Rasulullah
yang telah membumikan Islam di tanah Arab selama kurang lebih 23 tahun.
Rasulullah telah merintis aktifitas studi dan penelitian. Sunnah qauliyah dan
fi’liyahnya merupakan bukti realis yang dapat dikaji. Hal ini dapat diamati
dari upaya Nabi ketika memerintahkan untuk mencatat wahyu yang diturunkan
kepadanya. Ada enam belas kuttâb yang ditunjuk Nabi, diantaranya Abu Bakar,
Umar, ’Uśman, ’Ali, Zaid bin Śabit dan Ubay bin Ka’ab. 7) Rasulullah juga meminta para sahabat agar mempelajari bahasa
selain Arab. Dari sini nampak betapa perhatian Rasulullah terhadap ilmu
pengetahuan dengan memerintahkan para sahabatnya untuk mempelajari bahasa. 8)
Dalam
Islam, iman dan ilmu berkembang seiring, bahkan saling melengkapi dan menyatu
dalam pribadi akhlak karimah. Islam juga telah menyatukan kedudukan ibadah dan
belajar. Itulah ujud intelektualisme dalam bentuk pendidikan. Di Makkah,
beliau menggunakan rumah Arqam bin Arqam sebagai tempat belajar. Di rumah
inilah Rasulullah saw menyampaikan dasar-dasar agama dan mengajarkan Al-Qur’an
kepada mereka. Masjid secara genetika merupakan tempat pengembangan
intelektualisme, sejak guru terbesar Muhammad saw mengajar para sahabatnya di
Madinah sampai masa kini.
Disamping
masjid, Rasulullah menggunakan rumah beliau untuk mengajar para sahabat. Ada
dua institusi pendidikan pada masa Rasul yaitu masjid dan rumah. Dua institusi
inilah yang merupakan embrio intelektualisme dalam Islam.
Dalam
perkembangan berikutnya, sejalan dengan perluasan daulah Islam dan besarnya
minat kaum muslimin memasuki dunia pendidikan, masjid dan rumah sudah tidak
mampu lagi menampung para calon intelektual muslim, berkembang menjadi Masjid
Khan dan Kuttab. Menurut catatan Maksum, masjid khan adalah masjid yang
dilengkapi dengan bangunan khan (asrama, pemondokan yang masih bergandengan
dengan masjid). Berbeda dengan masjid biasa, masjid khan menyediakan tempat
penginapan yang cukup representatif bagi para pelajar yang datang dari berbagai
kota. Ia juga mengutip catatan Maqdisi bahwa Badr bin Hasanawaih al-Kurdi
(w.1015) yang menjadi Gubernur di bawah kekuasaan Ad-Daulah, telah mendirikan
sekitar 3000 masjid khan di beberapa wilayah. Abu Ishak, guru pada madrasah
Nizamiyah di Bagdad, pernah aktif di masjid khan yang ditempati oleh sekitar
sepuluh atau dua puluh murid yang berguru kepadanya.9) Kuttab, merupakan rumah seorang guru yang menjadi tempat
belajar dan dilengkapi dengan asrama tempat para siswa. Tokoh intelektual yang
mengajar murid di kuttab antara lain Abu Al-Qasim Al-Balkhy yang memiliki
ribuan murid. 10)
Pasca
masjid khan dan kuttab, pendidikan Islam memasuki babak baru dalam bentuk
madrasah dan al-jami’ah; diantara yang masyhur adalah :
- Baitul-aikmah di Bagdad yang didirikan pada masa khalifah Al-Makmun (198-202 H / 813-817 M), seorang khalifah penganut aliran Mu’tazilah.
- Perguruan Tinggi Al-Azhar di Kairo (359 H / 970 M), Dârul-Hikmah (395 H / 1005 M), dan Dârul-’Ilmi (403 H / 516 M) yang didirikan oleh Khalifah Bani Fatimiyah yang mengembangkan aliran Syi’ah.
- Bersamaan dengan lahirnya Al-Azhar di Kairo, universitas lainnya berkembang di Qawariyyun (Maroko) dan Zaituna (Tunisia)
- Madrasah Niýamiyyah yang didirikan oleh Niýâmul-Mulk seorang wazir pada pemerintahan Bani Saljuk yang juga seorang ilmuwan, yang menganut aliran Sunny pada tahun 1065-1067. 11)
Tradisi keilmuan Islam juga telah melahirkan kaum
intelektual sejak generasi sahabat dan berlanjut dari satu generasi ke generasi
sampai masa kini. Para intelektual muslim telah meninggalkan warisan keilmuan
dalam bentuk karya tulis yang sangat berarti bagi perkembangan ilmu
pengetahuan. Hampir di semua bidang ilmu muncul intelektual muslim yang
memeloporinya, misalnya ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’y, dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dalam bidang hukum dan teologi; Zunnun
al-Mișri, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj, dan al-Gazali dalam bidang tawawuf;
al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih dalam bidang filsafat; Ibnu
Haysam, Ibnu Hayyan, al-Khawarizmi, al-Mas’udi, dan al-Razi dalam bidang ilmu
pengetahuan umum. 12)
Tradisi keilmuan Islam mengalami pasang surut. Setelah
mengukir sejarah emas dalam masa sangat panjang dan berhasil menempatkan diri
sebagai pusat ilmu dan budaya yang dijadikan nara sumber bagi para ilmuwan
Eropa; akhirnya pada pertengahan abad ke XIII Masehi sampai tahun 1800
mengalami kemunduran intelektual. Masa itu tidak ada lagi penemuan keilmuan
dari para ilmuwan maupun ulama Islam. Supremasi politik, budaya, dan keilmuan
diambil alih oleh dunia Barat. Hegemoni Barat menguasasi daulah Islam.
Sementara itu, ilmu pengetahuan di dunia Islam mengalami stagnasi. Umat Islam
dipengaruhi sikap fatalistis.
Mulai tahun 1800, Islam memasuki dunia modern, Periode
ini merupakan zaman kebangkitan Islam yang dimulai sejak ekspedisi Napoleon
berhasil menduduki Mesir pada tahun 1798 sebagai salah satu pusat
terpenting di dunia Islam. Raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berfikir dan
mencari jalan untuk mengembalikan balance of power yang telah pincang. Dengan
demikian timbullah apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaharuan atau
modernisasi dalam Islam. 13)
Dengan belajar dari penjajah Eropa yang menguasai
dunia Islam, serta berusaha lepas dari dari kungkungan tradisi dan berjuang
untuk mencapai kemerdekaan dari hegemoni penjajah Eropa, para pembaharu Islam,
dipelopori oleh Jamaluddin al-Afgani, Inbu Taimiyah dan Syekh Muhammad ’Abduh,
menyusun gerakan reformasi Islam. Esensi ajarannya mengembalikan pola fikir,
pola gerakan dan pandangan hidup muslim pada tauhid yang bersih.
III.
TRADISI KEILMUAN SUNNY DAN SYI’IY
Tradisi
Sunny dan Syi’iy tidak dapat dilepaskan dari doktrin-doktrin kedua aliran
tersebut. Munculnya kedua aliran tersebut dipicu faktor politik yang berawal
dari perbedaan konsep imamah. Dalam hal ini, Sunny mendasarkan pada prinsip
musyawarah (ijma’) dengan mengembangkan kesepakatan-kesepakatan; sementara bagi
Syi’ah, imamah kenabian ditunjuk oleh Allah SWT, dan imamah pengganti Nabi
ditunjuk oleh Nabi yaitu kalangan keluarga Nabi (ahlul-bait). Hadis Nabi yang
menjadi dasar doktrin imamah Syi’ah adalah : ”Aku tinggalkan apa yang akan
menghindarkan kalian dari kesesatan selama kamu berpegang teguh padanya yaitu
Kitab Allah, as-Sunnah, dan kerabatku ”.14) Konflik awal di bidang politik
itu, selanjutnya berkembang pada masalah-masalah yang terkait dengan keagamaan
dan pendidikan termasuk tradisi keilmuan yang dikembangkannya.
A. Tradisi
Keilmuan Sunny.
Sepanjang
perjalanan historisnya, tradisi keilmuan Sunny terutama diabdikan kepada
al-’ulûmud-dîniyyah yaitu ilmu-ilmu agama dengan penekanan khusus pada bidang
Fikih dan Hadis. Ilmu-ilmu keduniaan khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta pada
posisi marjinal. 15). Muhammad Jamil Hayat yang pendapatnya dikutip Maksum
menambahkan tradisi keilmuan madrasah dengan al-’ulûmul-lisâniyyah yang
mencakup ilmu bahasa dan sastra seperti ilmu Nahwu dan Șorf sebagai alat untuk
medalami ilmu an-Naqliyyah. Dengan penekanan pada ’ulûmud-dîniyyah dan bahasa,
mereka menolak Filsafat dan Mantik karena dianggap menyesatkan, sehingga banyak
ulama Sunny yang mengarang buku untuk menolak ajaran tersebut. 16) Dalam kaitan ini, Azyumardi menyatakan bahwa ilmu-limu
naqliyyah memberi ruang gerak untuk melakukan ijtihad –meskipun bukan
dimaksudkan berfikir sebebas-bebasnya-. Ijtihad pada masa klasik bukan melatih
berfikir rasional, melainkan bermakna memberikan penafsiran baru atau pemikiran
independent yang tetap berada pada kerangka atau prinsip-prinsip doktrin yang
mapan, dan telah disepakati.
Kesepakatan-kesepakatan
yang dikembangkan tradisi Sunny, dapat dilihat pada berbagai bidang, seperti
teologi, ilmu-ilmu al-Qur’an, ilmu-ilmu Hadis, bidang hukum, maupun tasawuf.
Sesuai dengan karakter wasatan (mengambil jalan tengah), dalam bidang teologi,
pemikiran Sunny bersifat eklektik. Masalah qada dan qadar yang menyangkut
kehendak manusia mengikuti pemikiran Qadiriyah. Tentang dosa besar, memilih
pendapat Murji’ah yang menyatakan bahwa sang pelaku tidak difonis kafir,
malainkan fasik. 17) Tentang imamah yang terutama dalam kepemimpinan komunitas
muslim setelah Nabi Muhammad saw adalah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Dalam
hal Usman, tidak semua kaum Sunni sepakat ada dalam urutan ketiga, karena ada
yang beranggapan kedudukan Ali lebih tinggi.18)
Kesepakatan
dalam ilmu-ilmu al-Qur’an terwujud dalam bentuk dibakukannya qira’ah sab’ah
yang meskipun tidak didukung semua komponen, secara yuridis formal telah
didukung oleh pengadilan. Dalam bidang tafsir telah terbit tafsir At-Tabari
karya mufassir besar Muhammad Ibnu Jarir at-Tabari yang menghimpun
ulasan-ulasan para mufassir generasi sebelumnya dengan bermacam corak dan
orientasinya. Dalam bidang ilmu-ilmu Hadis, sejak semula, kodivikasi hadis yang
bermula pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz pada abad II, kaum Sunny telah
mensepakati adanya enam (6) kitab kumpulan hadis-hadis sahih yaitu Al-Jami’
karya Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Turmużi, sertya kitab Sunan karya
Imam Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Imam Nasai. 19) Dalam bidang hukum, mazhab fikih yang dibakukan sebagai
hasil konsensus yang dapat diterima dan diikuti sebagian besar masyarakat
muslim adalah mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali dan mazhab Zahiriyah.20) Dalam bidang tasawuf, konsolidasi Sunny dipelopori Al-Ghazali
yang telah merumuskan dan membangun tasawuf akhlak menjadi satu sistem
universal di kalangan Sunny.
B. Tradisi keilmuan
Syi’iy.
Tradisi
intelektualisme Syi’iy berbeda dengan Sunny yang menekankan pada
’ulûmud-dîn. Intelektualisme Syi’ah dibangun atas perpaduan prinsip-prinsip
dasar Islam dengan tradisi intelektual dan ajaran spiritual Persi. Tradisi ini
menekankan pada filsafat dan sains. Hal ini nampak pada banyaknya ilmuwan Persi
pada masa klasik seperti dikemukakan oleh Mehdi Amin Razavi dalam Pengantar
editor buku The Islamic Tradition in Persi, karya Hossen Nasr yaitu Ibnu Rusydi
seorang ahli Biologi dan dokter terkenal; Ibnu Sina sebagai ahli biologi,
dokter dan filsuf; Al-Biruni, ahli biologi, astronomi, matematika, psikologi,
kimia, dan obat-obatan; Sugrawardi, seorang filsuf dan sufi dengan konsepnya
tentang al-isyraq. 21)
Tradisi
keilmuan Syi’iy juga mendasarkan pada teologi Syi’ah yang menempatkan al-Qur’an
dan Hadis sebagai fondamen pokok, dengan interpretasi model Syi’ah. Teologi Syi’ah
mewujudkan doktrin imamah, kesyahidan dan dikotomi antara mustad’afîn
(kaum tertindas) dan mustakbirîn (kaum penindas). Dalam penafsiran al-Qur’an
dan Hadis, tradisi yang dikembangkannya berusaha menyesuaikan penafsiran
ayat-ayat Allah dengan prinsip-prinsip mereka; misalnya tentang konsep imamah
Imam Ali. Pengumpulan al-Qur’anpun hanya mengakui Imam Ali sebagai kodifikator.
Tradisi tafsir Syi’ah dikembangkan tafsir isyari yang dilakukan para imam dan
ulama Syi’ah. 22) Dalam bidang Hadis, tradisi Syi’ah hanya menerima
hadis-hadis dengan rawi dari muhadditsîn ahlul-bait (Syi’ah). Hadis-hadis
mereka sebagian memuat justifikasi konsep imamah. Dalam bidang hukum Islam,
mereka menempatkan Imam dan Ulama sebagai pengganti Rasul yang mempunyai
otoritas yuridis.
Peran
Imam dan Ulama nampak dalam konsep ”wilayah faqih dan marja’ taqlid”.
Wilayah faqih adalah pemerintahan para fuqaha yaitu suatu bentuk negara Islam
di mana kekuasaan sepenuhnya berada di tangan para fuqaha (mullah) yaitu mereka
yang memiliki pemahaman ajaran dan peraturan Islam serta memiliki keutamaan
dalam iman dan akhlak. Marja’ taqlid berarti orang atau kelompok orang yang
memiliki otoritas yuridis dalam umat Syi’ah, sangat alim, yang fatwa-fatwanya
mengenai syari’ah diikuti oleh mereka yang meyakininya dan praktik-praktik
keagamaan yang dilakukannya selalu didasarkan pada fatwa-fatwa mereka. 23) Kedua konsep tersebut menunjukkan betapa tradisi Syi’ah dalam
masalah hukum sangat menggantungkan pada otoritas ulama. Ada ketaatan yang luar
biasa di kalangan komunitas Syi’ah terhadap ulama sebagai pengganti Imam yang
menghilang sejak Imam ke duabelas. Dalam bidang tasawuf, tradisi mistiknya
sangat kental. Para ulama Sufi dianggap mursyid, syekh, atau guru-guru sufi
yang harus ditaati secara total. Banyak zawiyah-zawiyah dan ribat sebagai pusat
komunitas sufi dari kalangan Syi’ah. Pemimpin mereka dianggap sebagai wali yang
memiliki kekuatan spiritual sehingga dapat membangun komunikasi langsung dengan
Allah. Tokoh tasawuf filsafat Sughrawardi juga berasal dari Persi yang
mengajarkan al-Irsyraq.
IV.
MODEL-MODEL PENDIDIKAN SUNNY DAN SYI’AH.
Tradisi
keilmuan, nampak jelas dalam institusi-institusi pendidikan. Ada berbagai macam
variasi model-model pendidikan. Hasan Muhammad Hasan dan Nadyah Jamaluddin
dalam bukunya Madâris at-Tarbiyyah fî adarah al-Islamiyyah, yang
dikutip Maksum, menggambarkan corak dan model-model pendidikan yang berkembang
pada masa klasik adalah :
1.
Failosuf menggunakan istilah :
Dârul-ikmah, al-Muntadiyât, Hawanit, dan Warraqi’în.
2.
Mutașawwif menggunakan : az-Zawaya,
ar-Ribat, al-Masâjid, dan alaqatuż-Żikr.
3.
Syi’iyyîn menggunakan : Dârul-ikmah,
al-Masâjid, dan Pertemuan Rahasia.
4.
Mukallamîn menggunakan : al-Masâjid,
al-Maktabah, Hawanit,al- Warraqi’în, dan al-Muntadiyât.
5.
Fuqahâ’ (dan ahli Hadis) menggunakan
al-Katatib, al-Madâris, dan al-Masâjid.24)
Mencermati
klasifikasi klasifikasi tersebut, dapat difahami bila sistem pendidikan Syi’ah
mengambil model Dârul-ikmah, al-Masâjid, dan Pertemuan Rahasia; sedangkan
Sunny mengambil model madrasah, masjid, dan kuttab. Menurut data tersebut,
madrasah merupakan model khusus untuk Sunny, sementara Syi’ah tidak ada
model madrasah. Ada data lain yang dapat dijadikan komparasi yaitu temuan
Al-Akbar Farhangi dalam disertasinya, dia menyebut, bahwa pada awal pertengahan
abad 19 di Iran terdadapat lima institusi pendidikan yaitu : keluarga, masjid,
pasar, maktab dan madrasah.25)
Melihat
data tersebut, ternyata dalam tradisi pendidikan di kalangan Syi’ah madrasah
merupakan model pendidikan masa modern. Istilah lain dari madrasah yang dikenal
di Iran yaitu Hawzeh. Bagi kalangan Sunny, madrasah sebagai model pendidikan
masa klasik. Dalam perkembangan berikutnya, madrasah merupakan model pendidikan
tinggi. Al-Azhar, yang semula merupakan model al-jami’ah Syi’ah, dalam
perkembangan berikutnya menjadi model pendidikan tinggi Sunny. Al-Jami’ah
Syi’ah diwakili oleh Dârul-’Ilmi dan Dârul-ikmah; meskipun Azyumardi
mengenggap bahwa institusi tersebut bukan al-jami’ah tapi pusat research.
Dalam
tradisi Sunny, institusi pendidikan diarahkan pada pendidikan agama dengan
tujuan agar siswa mengauasai ilmu-ilmu agama, disamping memiliki maksud untuk
propaganda faham Sunny dalam rangka menghadapi ekspansi faham Syi’ah.26) Tujuan Hawzeh Syi’ah diarahkan agar siswa dan mahasiswa
memiliki wawasan intelektual yang luas, untuk dapat memahami
ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari sumber hukum yang diyakini
sebagai rujukan dalam teologi Syi’ah yaitu al-Qur’an, Hadis-hadis Syi’ah, ijma’
ulama Syi’ah, dan ijtihad. 27)
Madrasah
Sunny menekankan pada ’ulûmud-dîniyyah dan ’ulûmul-lisâniyyah. Mata pelajaran
yang tercakup dalam ’ulûmud-dîniyyah yaitu Tafsir, Qira’at, Hadis, dan Usul
Fikih. ’Ulûmul-lisâniyyah terdiri dari ’Ilmul-Lugah, ’Ilmun-NaÊwu,
’Ilmul-Bayân, dan Al-Adab. Menurut ’Atiyah al-Abrasyi, dalam madrasah diajarkan
juga pengajaran agama Islam yang meliputi fikih empat mazhab, Tauhid dan Bahasa
Arab. 28)
Sistem
pendidikan pada Hawzeh Syi’ah bercorak Filsafat. Hawzeh, disamping mengajarkan
ilmu-ilmu agama –yang meliputi Fikih, Usul Fikih, teologi Syi’ah, Al-Qur’an,
Hadis, dan Akhlak, juga mengajarkan bahasa, logika dan filsafat yang disajikan
secara bertahap menurut tingkat keilmuan. Diluar itu, juga menawarkan
mata pelajaran umum yang dikaji di luar kurikulum, dan dilaksanakan pada waktu-waktu
luang di hari libur. Mata pelajaran dimaksud meliputi teologi skolastik,
biografi, astronomi, sosiologi, psikologi, ideologi, dan bahasa Inggris. 29) Mencermati kurikulum Hawzeh, sebenarnya mengutamakan pada
pendidikan agama, utamanya teologi Syi’ah dan kemampuan menetapkan hukum-hukum
Islam. Posisi mata pelajaran bahasa, logika, dan filsafat, sebagai ilmu alat
untuk memahami dan mengembangkan wawasan intelektual muslim. Ilmu-ilmu
pengetahuan umum seperti psikologi, sosiologi, ideologi, posisinya sebagai ilmu
bantu yang memang harus dikuasai oleh muslim dalam kontek studi Islam.
Dari
sisi tingkat pendidikan, madrasah Sunny menerapkan jenjang pendidikan dengan
sistem klas yang ditempuh siswa dari jenjang pendidikan dasar, menengah, dan
pendidikan tinggi. Administrasinya sudah diatur rapi. Masing-masing tenaga
kependidikan memiliki peran sesuai fungsinya.
Ada
yang berfungsi sebagai mudarris (pengajar), mu’id (asisten), dan wu’ad (tutor).
Ada juga nazir atau wali yang mempunyai tanggung jawab terhadap aktifitas
madrasah, dan dipilih dari orang-orang yang ahli di bidangnya masing-masing. 30)
Jenjang
pendidikan bagi Hawzeh tidak mendasarkan pada kelas, tetapi pada kualitas ilmu.
Mereka membagi menjadi program tingkat dasar, tingkat menengah, dan program
tingkat tinggi. Tingkat dasar diajarkan ilmu-ilmu dasar dan ilmu alat seperti
bahasa dan logika. Tingkat menengah diarahkan pada pada kemampuan membaca
teks-teks tentang kaidah usul dan filsafat. Pada level ini, para pelajar
diharuskan menyelesaikan buku tertentu. Tingkat tinggi diarahkan pada analisis
dan pemecahan masalah di luar teks. Mahasiswa dilatih dan diajak mendiskusikan
untuk dapat memahami dan menganalisa tradisi dan sejarah yang berhubungan
dengan masalah-maslah tersebut. Akhir dari materi, mahasiswa diharapkan
memiliki kecakapan dan wawasan intelektual yang luas, mendasarkan pada teologi
Syi’ah. Sistem pendidikannya menerapkan sistem individual dan kelompok atau
halaqah. Dalam mengajar, seorang ustaz mengkaji satu kitab yang ditunjuk, dari
awal sampai akhir yang diikuti oleh para murid yang berminat. Metode yang
digunakannya adalah metode diskusi, bukan ceramah. Mahasiswa diberi kebebasan
untuk menanyakan dan menyanggah baik dengan sesama mahasiswa maupun dengan
guru. Melalui cara ini, mereka dilatih untuk mengembangkan wawasan intelektual
yang luas dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip yang diyakininya. 31)
Dengan
mendiskusikan tentang filsafat dan pengetahuan lainnya, bukan berarti larut pada
teori-teori Barat yang dipelajarinya, tetapi justru dicari titik lemahnya,
untuk kemudian dirumuskan konsep kebenaran menurut teori-teori Islam dengan
mendasarkan pada teoloi dan ijtihad model Syi’ah.
Mencermati
dua tradisi Sunny dan Syi’iy semakin meyakinkan, bila kedua tradisi itu
merupakan kekayaan peradaban Islam yang tidak perlu dipertentangkan. Untuk
mempertemukannya juga banyak kendala, karena keduanya memiliki prinsip-prinsip
ajaran yang diyakininya. Upaya saling memahami posisi dan peran masing-masing
dalam peta keilmuan Islam sangat diperlukan, dengan maksud untuk bersama-sama
mewujudkan masyarakat ilmiyah dengan tradisi intelektualisme Islam yang
dikembangkannya. Upaya dialog terbuka untuk dapat saling memahami dan
mentransver kelebihan masing-masing sangat membantu mengembangkan pola hubungan
yang lebih mengutamakan pengembangan keilmuan Islam dalam sistem masyarakat
ilmiah yang mengutamakan ukhuwah Islamiyah dalam rangka membangun dunia Islam;
dalam sistem masyarakat ilmiyah yang mengutamakan ukhuwah Islamiyah dalam
rangka membangun dunia baru Islam.
- V. PENUTUP
Tradisi
keilmuan Sunny dan Syi’iy dan model pendidikan madrasah dan Hawzeh merupakan
kekayaan peradaban Islam yang bermuara dari tradisi keilmuan Islam yang
diisyaratkan Al-Qur’an dan telah dikembangkan oleh Nabi Muhammad saw sebagai
prototipe insan teladan.
Belajar
dari tradisi keilmuan yang dikembangkan Sunny dan Syi’iy, kiranya perlu
dikembangkan wawasan keilmuan Islam dengan paradigma baru yang berangkat dari
hakekat kebenaran normatif Islam sebagai agama wahyu, untuk
menjawab tantangan ke depan dengan mengaktualisasikannya dalam gerakan
intelektual sosio relegious.
Pengembangan
keilmuan Islam diarahkan pada gerakan sosial keagamaan yang mengakomodasi semua
bidang-bidang ilmu. Di Perguruan Tinggi Islam, mahasiswa diberi kebebasan untuk
mengambil minimal dua bidang ilmu, yaitu ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
kemanusiaan atau ilmu-ilmu kealaman. Basic science seperti bahasa, logika,
matematika dan filsafat ilmu merupakan matakuliah wajib tempuh di semua program
studi.
Pola hubungan
keilmuan dengan mengembangkan komunikasi trans aksi, antara mahasiswa dengan
dosen, mahasiswa dengan mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan analitis dan
membuka wawasan intelektualisme yang lebih luas.
Yogyakarta, 18 Februari 2010
DAFTAR
PUSTAKA.
’Abdul ’Aziz
A schedina, Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi’ah, Bandung, Mizan, 1991.
Abdur Razaq Naufal, Ummat Islam dan Sains Modern, Bandung, Husain, 1987.
Abu Bakar Aceh, Syi’ah : Rasionalisme dalam Islam, Semarang, Ramadlani, 1980.
Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta, Bulan Bintang, 1978.
Ali Akbar Farhangi, An Investigation of th Ideological Fondation and Administrative Structure of Higher Education in Iran from Islamic Madressahs to Western Style Universities, Disertasi pada Ohio University, Michigen, A Bell & Howell Information Company, 1992.
Aqiqi Bakhshayeshi, Ten decades of Ulama’s Struggle, Teheran, Islamic Propagation Organisation, 1985.
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibraim Husein, Jakarta, Bulan Bintang, 1979.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.
_______, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Jakarta,Logos Wacana Ilmu, 1998.
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Pers, 1984
Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, terj. Djahdan Humam, Yogyakarta, Kota Kembang, 1989, ed. 1., cet. 1.
Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir Al-Qur’an, Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj Mochtar Z, Bandung, Pustaka, 1977.
Maksum, Madrasah : sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.
Nouruzzaman Siddiqi, jeram-jeram Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Otgomery Watt, Kajian Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, terj Hartono H., Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990.
Reynold, Alleyne Nicholson, A Literary History of the Arabs, Delhi, Adam Publishers & Distributers, tth.
Sayed Husein Nashr, The Islamic Tradition in Persia, ed. Mehdi Amin Razavi, New Delhi, Curzon Press, 1996.
Syarafuddin Al-Musawi, Dialog Sunnah Syi’ah, Bandung, Mizan, 1983.
Abdur Razaq Naufal, Ummat Islam dan Sains Modern, Bandung, Husain, 1987.
Abu Bakar Aceh, Syi’ah : Rasionalisme dalam Islam, Semarang, Ramadlani, 1980.
Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta, Bulan Bintang, 1978.
Ali Akbar Farhangi, An Investigation of th Ideological Fondation and Administrative Structure of Higher Education in Iran from Islamic Madressahs to Western Style Universities, Disertasi pada Ohio University, Michigen, A Bell & Howell Information Company, 1992.
Aqiqi Bakhshayeshi, Ten decades of Ulama’s Struggle, Teheran, Islamic Propagation Organisation, 1985.
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibraim Husein, Jakarta, Bulan Bintang, 1979.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.
_______, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Jakarta,Logos Wacana Ilmu, 1998.
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Pers, 1984
Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, terj. Djahdan Humam, Yogyakarta, Kota Kembang, 1989, ed. 1., cet. 1.
Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir Al-Qur’an, Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj Mochtar Z, Bandung, Pustaka, 1977.
Maksum, Madrasah : sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.
Nouruzzaman Siddiqi, jeram-jeram Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Otgomery Watt, Kajian Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, terj Hartono H., Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990.
Reynold, Alleyne Nicholson, A Literary History of the Arabs, Delhi, Adam Publishers & Distributers, tth.
Sayed Husein Nashr, The Islamic Tradition in Persia, ed. Mehdi Amin Razavi, New Delhi, Curzon Press, 1996.
Syarafuddin Al-Musawi, Dialog Sunnah Syi’ah, Bandung, Mizan, 1983.
1) Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi
menuju Milenium Baru (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hal 12.
2) Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, terj Djahdan Humam (Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), ed 1, cet 1, hal 38.
3) Nourazzaman Siddiqi, Jeram-jeram Peradaban Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hal 47
4) Reynold, Alleyne Nicholson, Aliterary History of The Arabs (Delhi : Adam Publishers & Distributors, tth), hal. 336
5) Abu Bakar Aceh, Syi’ah, Rsionalisme dalam Islam (Semarang : Ramadlani, 1980), hal 27.
6) Abdur-Razaq Naufal, Ummat Islam dan Sains Modern ( Bandung : Husain, 1987), hal. 7
7) Hasbi Aș-Șiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta ; Bulan Bintang, 1986), hal. 69
8) Abdur-Razaq Naufal, Op.Cit, hal 23.
9) Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), cet II, hal. 57.
10) Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam, (jakarta : Bulan Bintang, 1978), terj. Muhtar Yahya dan Sanusi Latif, hal. 41.
11) Ibid, hal. 100; Maksum, Op.Cit, hal 59; Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hal. 38. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 52.
12) Azumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim & Pendidikan Muslim, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 52
13) Harun Nasution, Op.Cit., hal 89.
14) A Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah Syi’ah, (Bandung : Medan, 1983), hal 35, dan Ali Akbar Farhangi, An Invertigation of the Ideological Foundation and Administrative Structure of Higher Education in Iran from Islamic Madressahs to Western Style Universiies, disertasi pada Ohio University, (Michigan : A Bell & Howell Information Company, 1992), hal.58.
15) Azumardi Azra, Pendidikan Islam, Op.Cit, hal. 1x.
16) Maksum, Op.Cit., hal.69-70.
17) Nourozzaman, Op.Cit, hal 50.
18) Ontgomery Watt, Kajian Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, terj. Hartono H. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990), hal. 182.
19) Ibid, hal. 184,186.
20) Nouruzzaman, Op.Cit., hal 49.
21) Sayyed Husein Nasr, The Islamic Tradition in Persia, ed. Mehdi Amin Razavi (New Delhi : Curzon Press, 1996), hal xiii
22) Mahmud Basuni Faudah, Tafsir Al-Qur’an, Perkenalan dengan Metode Tafsir, terj. Mochtar Z, ( Bandung : Pustaka, 1977), hal. 135
23) Abdul Aziz A Schedina, Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi’ah, (Bandung : Mizan, 1991), hal. 12
24) Maksum, Op.Cit, hal.52
25) Ali Akbar Farhangi, Op.Cit. hal. 80.
26) Mahksum, Op.Cit. hal. 59.
27) Aqiqi Bahsyayeshi, Ten Dekades of ‘Ulama’s Struggle, (Teheran : Islamic Propagation Organisation, 1985), hal. 240.
28) Maksum, Op.Cit., hal. 71.
29) Aqiqi Bakhsyayeshi, Op. Cit., hal 240.
30) Maksum, Op.Cit., hal. 67.
31) Aqiqi Bakhsyayeshi, Op. Cit., hal 241
2) Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, terj Djahdan Humam (Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), ed 1, cet 1, hal 38.
3) Nourazzaman Siddiqi, Jeram-jeram Peradaban Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hal 47
4) Reynold, Alleyne Nicholson, Aliterary History of The Arabs (Delhi : Adam Publishers & Distributors, tth), hal. 336
5) Abu Bakar Aceh, Syi’ah, Rsionalisme dalam Islam (Semarang : Ramadlani, 1980), hal 27.
6) Abdur-Razaq Naufal, Ummat Islam dan Sains Modern ( Bandung : Husain, 1987), hal. 7
7) Hasbi Aș-Șiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta ; Bulan Bintang, 1986), hal. 69
8) Abdur-Razaq Naufal, Op.Cit, hal 23.
9) Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), cet II, hal. 57.
10) Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam, (jakarta : Bulan Bintang, 1978), terj. Muhtar Yahya dan Sanusi Latif, hal. 41.
11) Ibid, hal. 100; Maksum, Op.Cit, hal 59; Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hal. 38. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 52.
12) Azumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim & Pendidikan Muslim, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 52
13) Harun Nasution, Op.Cit., hal 89.
14) A Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah Syi’ah, (Bandung : Medan, 1983), hal 35, dan Ali Akbar Farhangi, An Invertigation of the Ideological Foundation and Administrative Structure of Higher Education in Iran from Islamic Madressahs to Western Style Universiies, disertasi pada Ohio University, (Michigan : A Bell & Howell Information Company, 1992), hal.58.
15) Azumardi Azra, Pendidikan Islam, Op.Cit, hal. 1x.
16) Maksum, Op.Cit., hal.69-70.
17) Nourozzaman, Op.Cit, hal 50.
18) Ontgomery Watt, Kajian Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, terj. Hartono H. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990), hal. 182.
19) Ibid, hal. 184,186.
20) Nouruzzaman, Op.Cit., hal 49.
21) Sayyed Husein Nasr, The Islamic Tradition in Persia, ed. Mehdi Amin Razavi (New Delhi : Curzon Press, 1996), hal xiii
22) Mahmud Basuni Faudah, Tafsir Al-Qur’an, Perkenalan dengan Metode Tafsir, terj. Mochtar Z, ( Bandung : Pustaka, 1977), hal. 135
23) Abdul Aziz A Schedina, Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi’ah, (Bandung : Mizan, 1991), hal. 12
24) Maksum, Op.Cit, hal.52
25) Ali Akbar Farhangi, Op.Cit. hal. 80.
26) Mahksum, Op.Cit. hal. 59.
27) Aqiqi Bahsyayeshi, Ten Dekades of ‘Ulama’s Struggle, (Teheran : Islamic Propagation Organisation, 1985), hal. 240.
28) Maksum, Op.Cit., hal. 71.
29) Aqiqi Bakhsyayeshi, Op. Cit., hal 240.
30) Maksum, Op.Cit., hal. 67.
31) Aqiqi Bakhsyayeshi, Op. Cit., hal 241