Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Islam
|
ISLAM adalah agama yang memicu perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi
dan memiliki peradaban yang sangat mengagumkan Dunia. Bisa dikatakan jika Islam
tidak ada, maka dunia selamanya akan gelap dengan kebodohan, seperti pada
masa-masa keajaiban. Mengapa? karena Islam adalah penggerak perkembangan Ilmu
pengetahuan dan Peradaban yang sekarang biasa kita nikmati hasilnya.
Dunia saat ini sedang disibukkan dengan kampanye
globalisasi besar-besaran “penghilangan identitas” umat Islam. Dan yang terjadi
sekarang bukanlah perang dalam bentuk kontak senjata tetapi perang dalam bentuk
pemikiran. Untuk memuluskan proyek ini, salah satu cara yang dilakukan oleh
Barat ialah mencuci otak pelajar-pelajar Muslim yang belajar di Barat. Bahkan
saat ini jenggot, baju koko, gamis, jilbab, dan cadar selalu distigmakan
sebagai “costum” teroris.
Ilmu yang hanya bersandarkan humanistik yang dikembangkan
Barat saat ini, telah menghasilkan masyarakat yang kehilangan orientasi hidup.
Berbeda dengan Barat, Islam memandang ilmu sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan.
Ilmu dalam Islam selalu disandarkan pada pijakan theistik. Padahal dalam Islam,
mencari ilmu bagi setiap muslim dan muslimat adalah upaya untuk mendekatkan
diri kepada Allah, sehingga dalam sejarah Islam tidak pernah terjadi “tradegi
Gereja Abad Pertengahan”, dan kebinggungan polarisasi ilmu dengan teologi.
Para Filsuf Yunani, bisa bangkit dari jeratan
“mitos” menuju “logos” mengandalkan kemampuan berpikir “deduktif
(umum-khusus)” yang menghasilkan pengetahuan spekulatif (kira-kira/prediksi).
Sementara membawa semangat rasionalistik Yunani, Islam mampu menciptakan pola
logika “induktif” lewat observasi. Sehingga pengetahuan yang didapatkan tidak
lagi berupa kira-kira/prasangka, tapi sudah memasuki ranah pembuktian secara
objektif di lapangan.
Satu hal yang sangat menarik bagi kita adalah
originilitas pemikiran Thomas Aquinas, salah satu filsuf abad pertengahan yang
dielu-elukan oleh kaum Nasrani. Pengamat pemikiran Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi,
MA. M.Phil, mengatakan, karya hebat Aquinas, “Summa Theologia”
adalah plagiasi dari karya Al Farabi dan Ibnu Rusyd.
Dalam ajaran Islam, pencarian ilmu, ataupun
penyebarannya memiliki akar yang sangat kuat Ini dapat di buktikan dengan
banyaknya hadist dan ayat al-Quran yang menerangkan akan hal tersebut. Salah
satu hadist yang bisa dikutipkan sebagai ilustrasi mengenai pentingnya ilmu
adalah salah satu sabda Rasulullah yang menyatakan keunggulan seorang berilmu
dibandingkan dengan orang yang beribadah seperti terangnya bulan purnama dan
bintang-bintang.
Begitu pentingnya masalah ilmu ini, buku-buku
klasik Islam --semacam kitab-kitab hadist seperti Sahih Bukhari atau Sahih
Muslim atau kitab klasik Ihya Ulumuddin karangan Al Ghazali--
memulai dengan bab nya mengenai ilmu. Peran penting ilmu ini bahkan diungkapkan
oleh Imam Bukhari.
Kata-kata bijak Al Ghazali bisa dikutip untuk
mengilustrasikan pentingnya ilmu dalam kehidupan. Beliau mengatakan,
“Orang-orang yang selalu belajar akan sangat dihormati dan semua kekuatan yang
tidak dilandasi pengetahuan akan runtuh.”
Seorang ulama kontemporer, Yusuf Qaradawi,
mengungkapkan bahwa ilmu merupakan pembuka jalan bagi kehidupan spiritual yang
terbimbing, ilmu merupakan petunjuk iman, penuntun amal; ilmu juga yang
membimbing keyakinan dan cinta. Dalam risalahnya mengenai prioritas masa depan
gerakan Islam, beliau menempatkan prioritas sisi intelektual dan pengetahuan
melalui pengembangan fiqh baru sebagai prioritas awal.
Ilmu dan Peradaban
Konsep ilmu pengetahuan memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam tubuh peradaban dan mengairi segi-segi peradaban Islam.
Peradaban Islam, sebagaimana terwujudkan dalam sejarah klasiknya, dapat
diidentikkan dengan kejayaan pengetahuan, sebagaiman seorang orientalis, Franz
Rosenthal, memberi judul bukunya mengenai deskripsi dan peran pengetahuan dalam
peradaban Islam sebagai, ‘The Knowledge Triumphant: The concept of Knowledge
in Medievel Islam’.
Pada tulisan yang lain dia mengungkapkan, “Sebuah
peradaban muslim tanpa pengetahuan tidaklah terbayangkan oleh generasi muslim
pertengahan.”
Tetapi ada juga serangan yang menyudutkan umat
Islam, dengan mengatakan “tradisi ilmiah dalam Islam mundur dikarenakan
pemikiran dan karya-karya Al-Ghazali”. Padahal menurut ucapan ini merupakan
pendapat orientalis yang salah memahami pemikiran Al-Ghazali.
Pengarag Ihya ‘Ulumuddin ini sebenarnya
mengkritisi pandangan Ibnu Sina yang mengatakan “ilmu yang rasionalistik tidak
perlu dijustifikasi lewat kebenaran teologis”. Pandangan Ibnu Sina ini
mempengaruhi Ibnu Rusyd, sehingga lahirlah “double truth” yang saat
kemudian dalam tradisi Nasrani dan modern terpolarisasi menjadi “kebenaran
Tuhan” dan “kebenaran ilmiah”.
Prof Wan Moh. Nor Wan Daud pernah mengungkapkan bahwa
pencapain-pencapaian peradaban Islam dahulu amat sangat terkait dengan adanya
budaya ilmu di dalamnya, dan hal ini sudah tercatat dalam sejarah. Dari
perspektif sejarah Wan Daud mengungkapkan bahwa sebuah bangsa yang kuat tetapi
tidak ditunjang oleh oleh budaya ilmu yang baik, akan mengadopsi ciri dan
kekhasan bangsa yang ditaklukkannya tetapi memiliki budaya ilmu yang baik.
Bangsa Tartar yang mengobrak-abrik peradaban Islam di Baghdad dahulu kala
justru malah terislamisasikan. Selanjutnya beliau menyebutkan budaya ilmu ini
bisa dicirikan dengan terwujudnya masyarakat yang melibatkan diri dalam
kegiatan keilmuan, ilmu merupakan keutamaan tertinggi dalam sistem nilai
pribadi dan masyarakat. Munculnya penemuan-penemuan saintifik atau kemajuan
teknologi di dunia Islam pada masa silam tidaklah terbayangkan tanpa adanya
budaya ilmu yang menggerakkannya, karena pencapaian-pencapaian itu adalah
manifestasi dari budaya ilmu tersebut. Syed Husein Alatas mengembangkan konsep
“bebalisme” secara sosiologis terhadap kebiasaan, tradisi atau budaya
anti-ilmu, anti-pembahasan, anti-penalaran dalam sebuah masyarakat.
Dalam abad modern ini dimana kebangkitan umat (resurrection
people) didengungkan pembinaan budaya ilmu merupakan keharusan. Satu sisi
yang juga bisa diberikan apresiasi dari budaya Ilmu dalam peradaban islam
adalah penggunaan medium buku sebagai sarana penyebaran pengetahuan di dunia
Islam. Lembaga penulisan buku –waraq–, perdagangan buku, perpustakaan – baik
pribadi maupun lembaga kenegaraan– , sangat berkembang di dunia Islam ketika
itu. Sebagaimana juga munculnya lingkaran studi di mesjid-mesjid, diskusi
ilmiah di istana-istana penguasa, atau munculnya lembaga-lembaga pengajaran
dari tingkat dasar hingga univesitas (kulliyah).
Di zaman klasik, setiap kota besar di dunia Islam
memiliki bazaar buku masing-masing, suq al waraqa. Aktivitas para pedagang buku
tidak semata-mata menjualbelikan buku, tetapi toko-toko mereka juga berperan
sebagai tempat-tempat diskusi. Sebuah karya indeks mengenai buku-buku di dunia
Islam sudah ada di masa itu. Al Fihrist, sebuah karya yang terkenal
dikalangan sejarawan dikarang oleh Ibn Nadim seorang pedagang buku. Kajian
mengenai penyebaran buku di dunia Islam juga bisa kita lihat dari karya seorang
orientalis Denmark, J Pedersen dalam bukunya “Fajar Inteletualisme Islam.
Penulis adalah Koordinator Kajian Centre for
Islamic and Occidental Studies (CIOS) ISID Gontor
Sumber : Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar