PEMIKIRAN K.H. AHMAD
DAHLAN
Pendahuluan
Muhammad Dahlan dididik dalam lingkungan pesantren sejak
kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. la menunaikan ibadah
haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama
dan bahasa Arab di Mekkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh,
al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam
ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh
disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan
eorak keagamaan yang sarna, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk
memperbaharui pemahaman keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam
saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).
Riwayat Hidup Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968
dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang
didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar,
seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama
Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton
Yogyakarta.
Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, yaitu
Katib Harum, Mukhsin atau Nur, Haji Shaleh, Ahmad Dahlan, ’Abd Al-Rahim,
Muhammad Pakin dan Basir.
Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai
putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji
Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari
ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada
beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh),
K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh
Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an),
serta beberapa guru lainya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif
muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman
intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan
ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
Selelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru,
pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan
bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya
yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap
selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini, ia banyak bertemu dan
melakukan muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah.
Di antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai
Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu
pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui
penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn
Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din
al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam,
telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang
reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah
mendapat perhatian khusus Dahlan saat itu.
Sekembalinya dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi
Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari
Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad b. Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya
mengajar pengajian anak -anak. Keadaan ini telah menyababkan pengaruh Ahmad
Dahlan semakin luas di masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai
seorang kiai, ia dikategorikan sebagai ngulomo (ulama) atau intelektual.
Tidak berapa lama dan kepulangannya ke tanah air, K.H.
Ahmad Dahlan menikah dengan Walidah b. Kiai Pcnghulu Haji Fadhil (terkenal
dengan Nyai Ahmad Dahlan) yang mendampinginya sampai akhir hayat.
Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad
Dahlan mendapat enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro,
Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Menurut cacatan sejarah, sebelumnya K.H. Ahmad Dahlan
pernah kawin dengan Nyai ‘Abd Allah, janda dari H. ‘Abd Allah. Ia juga pernah
kawin dengan Nyai Rumu (bibi Prof. A. Kahar Muzakkir) adik pebghulu ajengan
penghulu Cianjur. Dan konon, ia juga pernah kawin dengan Nyai Solekhah, putrid
Kanjeng Penghulu M. Syafi’i adik Kiai Yasin Paku Alam Yogya.
Semenjak ayahnya wafat, K.H. Ahmad Dahlan diangkat
sebagai pengganti ayahnya menjadi ketib Mesjid Agung Kauman Yogyakarta, karena
dianggap memiliki persyaratan yang secara konvensional disepakti dikalangan
masyarakat. Setelah menjadi abdi dalem, oleh teman seprofesinya dan para kiai,
K.H. Ahmad Dahlan diberi gelar Ketib Amin (khatib yang dapat dipercaya).
Disamping jabatan resmi itu, ia juga berdagang tekstil ke Surabaya, Jakarta
bahkan sampai ke tanah seberang (Medan). Kendatipun sibuk dengan urusan bisnis,
ia tetap menambah ilmu dengan mendatangi ulama serta memperhatikan keadaan umat
Islam ditempat yang ia singgahi. Sampai kemudian K.H. Ahmad Dahlan meninggal
duni pada tanggal 25 Februari 1923 M./7 Rajab 1340 H. di Kauman Yogyakarta,
dalam usia 55 tahun.
Pemikiran Ahmad Dahlan
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan
ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah
menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara.
Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti
arah masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan
ini ditentang olen masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk
menghapusnya. Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2
derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun tangan dengan memerintahkan
untuk merobohkannya. K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena
peristiwa-peristiwa tersebut sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya.
Tetapi saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain
dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa
yang diyakininya. Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal
pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan
dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.
Memang tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk
menyosialisasikan ide pembaharuannya yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping
karena masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap “berbeda” dari
tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk menyosialisasikan
tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan
nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang diyakini.
Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya
Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk
mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang ke
dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua tahun. Bahkan ia pernah mengunjungi
observatorium di Lembang untuk menanyakan cara menetapkan Kiblat dan permulaan
serta akhir bulan Ramadhan. Perjuangannya ini cukup berhasil ketika pada tahun
1920-an masjid-masjid di Jawa Barat banyak yang di bangun dengan arah Kiblat ke
Barat laut. Dan menurut catatan sejarah, Sultan sebagai pemegang otoritas
tertinggi, menerima penentuan jatuhnya hari Raya ‘Idul Fitri, yang pada mulanya
ditetapkan oleh Kesultanan berdasarkan perhitungan (petungan) Aboge.
Terobosan dan Strategi Ahmad Dahlan
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan
telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi
Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran
agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggota-anggota Budi Utomo
pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, Ahmad
Dahlan berharap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-seko1ah
pemerintah. Rupanya, pelajaran dan cara mengajar agama yang diberikan. Ahmad
Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka
menyarankan agar Ahmad Dahlan membuka sendiri sekolah secara terpisah. Sekolah
tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersifat permanen.
Gerakan Pembaruan Ahmad Dahlan
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda
dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan
maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang
berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai
dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun
1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak
menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena
merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan
meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan
(penyekutuan Tuhan). Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan
upacara mengada-ada (bid’ah). Ia juga menentang kepercavaan pada jimat yang
sering dipercaya oleh orang-orang Keraton maupun daerah pedesaan, yang
menurutnya akan mengakibatkan kemusyrikan.
Mendirikan Perserikatan Muhammadiyah Sebelum mendirikan
Organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan aktif di berbagai perkumpulan,
seperti Al-Jami’at Al-Khairiyyah (organisasi masyarakat Arab di Indonesia),
Budi Utomo dan Sarekat Islam. Ia termasuk salah seorang ulama yang mula-mula
mengajar agama Islam di Sekolah Negeri, seperti Sekolah Guru (Kweekschool) di
Jetis Yogyakarta dan OSVIA di Magelang.
Selain berdagang pada hari-hari tertentu, dia memberikan
pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama pada kelompok murid
Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan
sebuah madrasah dcngan pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal.
Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad
Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di
sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan
sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam
Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada
tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama
temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji
Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama
Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar
anggota inti. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi itu bermaksud mendirikan
lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan
masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan
buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam
yang tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah
melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen.
Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang
terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata
lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami.
Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi
duni secara realitis.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum.
Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan surat ketetapan
Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah
Yokyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan
perkembangan organisasi ini. Itulah sbabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun
Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan, Wonosari, dan
Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah di luar
Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang
dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri
perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari
cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yokyakarta sendiri ia menganjurkan
adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan
kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan jama’ah-jama’ah ini mendapat
bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin,
Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan
Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf Bima kanu
wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya
bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial
umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial
keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan
keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah,
bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan
akhirat, material dan spiritual.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah
yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan
menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan
hikmah, kebijaksanaan, nasehat, ajakan, dan jika perlu dilakukan dengan
berdialog.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan
bahwa Muhammadiyah selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman Islam
secara rasional sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap
lapisan masyarakat.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan,
lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu
‘Aisyah. Bagian ini menyelenggarakan tabligh khusus wanita, memberika kursus
kewanitaan. Pemeliharaan fakir miskin, serta memberi bantuan kepada orang
sakit. Kegiatan Muhammadiyah dengan ‘Aisyah ini berjalan baik, terutama karena
banyak orang Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya
kepada organisasi ini.
Di samping ‘Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk
kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU
(Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang
miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik
kesehatan; (2) Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk
pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas
mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.
Analisa
Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas,
ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam.
Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk
membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.
Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan,
dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan
dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman
penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan
senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta
keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak
menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan
demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk
senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean
pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat.
Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang
tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini,
setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya
sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan
peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.
Kesimpulan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun
1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang
didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar,
seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama
Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton
Yogyakarta.
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai
disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah
satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2
derajat ke Utara.
Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan
telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi
Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran
agama kepada para anggotanya.
Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda
dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan
maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang
berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai
dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai
tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak
menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan
mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah
ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem
pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta
pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada
tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama
temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji
Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya
bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial
umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial
keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan,
lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu
‘Aisyah.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Islam Indonesia. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Jakarta. 2000).
Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. (PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve. Jakarta. 2001).
Mujib, A, dkk. Intelektualisme Pesantren. (Diva Pustaka.
Jakarta. 2003).
Wikipedia Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia Bebas. (Mizan.
Jakarta. 2002).
Tags: biografi KH ahmad Dahlan muassis Muhamadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar