Selasa, 02 April 2013

TRADISI KEILMUAN SUNNY DAN SYI’I MENUJU MASYARAKAT ILMIAH (KAJIAN TENTANG MODEL-MODEL PENDIDIKAN)



TRADISI KEILMUAN SUNNY DAN SYI’I
MENUJU MASYARAKAT ILMIAH
(KAJIAN TENTANG MODEL-MODEL PENDIDIKAN)
Dra. Siti ’Aisyah, M.Ag.


I.    PENDAHULUAN
Tradisi keilmuan dalam Islam muncul sejalan dengan lahirnya Islam, sejak wahyu pertama diturunkan yang dengan jelas memerintahkan Nabi membaca dan belajar melalui kalam. Islam secara doktrinal mengandung prinsip-prinsip keilmuan. Ayat-ayat pertama yang diwahyukan Allah dan banyaknya ayat-ayat yang mengandung pertanyaan retorik dari Allah semacam afalâ ta’qilûn  (apakah engkau tidak berakal) atau afalâ tatafakkarûn (apakah engkau tidak berakal) serta sejumlah hadis yang  relevan dengan tuntutan pencarian dan pengembangan ilmu, menunjukkan bahwa Islam sangat mendukung pengembangan ilmu. 1)
Tradisi keilmuan dalam Islam tampil dengan corak khas . Ia lahir dari perpaduan dan dialektika ajaran-ajaran doktrinair al-Qur’an dan al-Hadis tentang prinsipprinsip keilmuan dengan warisan budaya bangsa-bangsa di dunia semisal Yunani, India, Cina, Persia, dan Eropa, yang menampilkan karakter ruh Islam dalam wacana baru. Implikasinya, terdapat barmacam variasi tradisi keilmuan Islam, sejalan dengan dialektika dan beragamnya kondisi sosial, ekonomi maupun politik yang melingkunginya. Ada dua corak tradisi keilmuan yang secara makro menggambarkan representasi dan kekayaan peradaban Islam yaitu tradisi keilmuan tradisi keilmuan Sunny dan Syi’i. Dua grand pemikiran dan gerakan Islam tersebut berkembang dalam wacana doktrin dan historisitas yang berbeda.
Embrio pemikiran dan gerakan dua aliran Sunny dan Syi’i muncul ke permukaan sejarah Islam ketika berkecamuknya sikap pro dan kontra terhadap pemegang kekuasaan dengan basis agama pada masa khalifah Ali bin Abi Talib (35-41 H). Dengan adanya perang Siffin dan kekalahan diplomasi dari pihak Ali terhadap Mu’awiyyah, muncul kelompok pengikut Ali yang menolak abritase dan mendakwanya telah mengkhianati tanggung jawab dan menodai kesucian tugasnya sebagai pemimpin masyarakat muslim pilihan. Mereka memisahkan diri dari kelompok Ali dan dikenal dengan Khawarij. Pada masa itu, ummat Islam telah terpecah menjadi tiga blok politik yaitu Khawarij, Syi’ah, dan pendukung Umayah. 2)
Ditengah-tengah konflik ketiga golongan tersebut, ada segolongan ulama Madinah, Kufah, Damaskus dan Basrah, di bawah pimpinan Abdullah bin Umar menarik diri dari panggung politik praktis dan beralih orientasinya pada pengkajian masalah-masalahn agama baik dalam bidang hukum, tasawuf, maupun theologi. Para sarjana Barat menyebutnya golongan moderat dan kelompok oposisi saleh. Disebut moderat karena anti pada sikap-sikap ekstrim radikal. Sedangkan oposisi saleh karena para ulama tidak mendukung kelompok manapun dan tidak menunjukkan sikap menentang secara terbuka. Mereka terfokus pada kajian-kajian yang mengacu pada al-Qur’an dan Sunnah. 3) Sejak saat itulah muncul aliran Sunny dan Syi’i dalam masyarakat Islam. Sunny merupakan sebuah nama bagi kelompok muslim pendukung sunnah yang dalam memahami agama mempunyai prinsip dasar mengambil jalan tengah (wasaţan), berpegang pada asas keseimbangan yang mengacu pada al-Qur’an dan Sunnah serta berusaha mencari perdamaian antara dua sisi ekstrim yang bertentangan – yaitu antara naqal dan akal, antara dunia dan akherat serta antara fikih dan tasawuf. Kaum Sunny dikenal juga dengan muslim ortodoks yang pemikirannya berseberangan dan memposisikan sebagai oposisi dari Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazilah yang disebut juga dengan heterodoks.4)
Kaum Syi’i adalah para pendukung Imam Ali yang mengakui kepemimpinan legitimet sepeninggal Rasulullah saw., ada pada khalifah Ali bin Abu Talib, bukan Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan ataupun yang lainnya.  Kepemimpinan ummat berlanjut secara turun temurun kepada keturunan Imam Ali bin Abu Talib. Sampai Imam ke 12 yaitu Imam Muhammad Ibnu Hasan Al-Anșari. Imam terakhir dikenal dengan Al-Mahdi sebagai Imam sepanjang masa. Menurut keyakinan Syi’ah, Imam tersebut hilang sejak tahun 329 H, yang akan muncul kembali pada akhir zaman untuk menyelamatkan ummat Islam. Pada masa vakum, jabatan Imam diserahkan pada seorang ulama yang memiliki otoritas mengambil keputusan karena kefaqihannya di bidang hukum Islam dan kemuliaan akhlaknya. 5)
Kedua aliran Sunny dan Sy’i sampai sekarang menguasai dunia Islam, dalam wacana dan wilayah kekuasaannya masing-masing. Pada masa klasik, Sunny dan Syi’ah, sama-sama menguasai dunia pengetahuan dengan mendirikan madrasah setingkat universitas yaitu Niýamiyyah di Bagdad yang beraliran Sunny, sebagai tempat pendidikan dan propaganda Sunnyy; sementara Dârul-’Ilmi di Mesir sebagai tempat pendidikan dan propaganda aliran Syi’ah. Meskipun memiliki tradisi berbeda, – bahkan terkadang mengarah pada kompetisi dan konflik -, keduanya masih dalam koridor Islam. Masing-masing menampilkan wacana tradisi keilmuan Islam dengan ikatan aqidah dan sumber ajaran yang sama. Mempertemukan keduanya dalam satu wacana keilmuan keislaman dengan karakteristiknya masing-masing, justru menunjukkan keunikan Islam sebagai ajaran universal dan kosmopolit.
Tulisan ini bermaksud menyajikan dua tradisi keilmuan Sunny dan Syi’i, khususnya terkait dengan model-model pendidikan yang dikembangkannya. Untuk mensosialisasikan dan ekspansi doktrin-doktrinnya, mereka menggunakan media pendidikan. Model-model pendidikan yang dikembangkannya masing-masing memiliki karakter khas baik dari segi institusi, kurikulum, maupun metodologi pendidikannya.
II. TRADIS KEILMUAN ISLAM
Islam yang merupakan Dîn universal, memuat petunjuk yang mengatur seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Tradisi keilmuan dalam Islam muncul sejalan dengan lahirnya Islam, sejak wahyu pertama yang dengan jelas dan tegas memerintahkan Nabi untuk membaca dan belajar dengan perantaraan kalam. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan adanya prinsip-prinsip keilmuan ada 750 ayat, yang meliputi berbagai cabang ilmu, semisal QS. Yâsîn/36:38-40 menerangkan dasar-dasar astronomi; QS Al-Ambiyâ’/21:30 tentang ilmu alam, dan QS. Al-ijr/15:22 tentang geografi.6)
Rasulullah saw. adalah orang pertama yang memenuhi ajaran Al-Qur’an, karena Rasulullah yang telah membumikan Islam di tanah Arab selama kurang lebih 23 tahun. Rasulullah telah merintis aktifitas studi dan penelitian. Sunnah qauliyah dan fi’liyahnya merupakan bukti realis yang dapat dikaji. Hal ini dapat diamati dari upaya Nabi ketika memerintahkan untuk mencatat wahyu yang diturunkan kepadanya. Ada enam belas kuttâb yang ditunjuk Nabi, diantaranya Abu Bakar, Umar, ’Uśman, ’Ali, Zaid bin Śabit dan Ubay bin Ka’ab. 7) Rasulullah juga meminta para sahabat agar mempelajari bahasa selain Arab. Dari sini nampak betapa perhatian Rasulullah terhadap ilmu pengetahuan dengan memerintahkan para sahabatnya untuk mempelajari bahasa. 8)
Dalam Islam, iman dan ilmu berkembang seiring, bahkan saling melengkapi dan menyatu dalam pribadi akhlak karimah. Islam juga telah menyatukan kedudukan ibadah dan belajar. Itulah ujud intelektualisme dalam bentuk pendidikan. Di Makkah, beliau  menggunakan rumah Arqam bin Arqam sebagai tempat belajar. Di rumah inilah Rasulullah saw menyampaikan dasar-dasar agama dan mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka. Masjid secara genetika merupakan tempat pengembangan intelektualisme, sejak guru terbesar Muhammad saw mengajar para sahabatnya di Madinah sampai masa kini.
Disamping masjid, Rasulullah menggunakan rumah beliau untuk mengajar para sahabat. Ada dua institusi pendidikan pada masa Rasul yaitu masjid dan rumah. Dua institusi inilah yang merupakan embrio intelektualisme dalam Islam.
Dalam perkembangan berikutnya, sejalan dengan perluasan daulah Islam dan besarnya minat kaum muslimin memasuki dunia pendidikan, masjid dan rumah sudah tidak mampu lagi menampung para calon intelektual muslim, berkembang menjadi Masjid Khan dan Kuttab. Menurut catatan Maksum, masjid khan adalah masjid yang dilengkapi dengan bangunan khan (asrama, pemondokan yang masih bergandengan dengan masjid). Berbeda dengan masjid biasa, masjid khan menyediakan tempat penginapan yang cukup representatif bagi para pelajar yang datang dari berbagai kota. Ia juga mengutip catatan Maqdisi bahwa Badr bin Hasanawaih al-Kurdi (w.1015) yang menjadi Gubernur di bawah kekuasaan Ad-Daulah, telah mendirikan sekitar 3000 masjid khan di beberapa wilayah. Abu Ishak, guru pada madrasah Nizamiyah di Bagdad, pernah aktif di masjid khan yang ditempati oleh sekitar sepuluh atau dua puluh murid yang berguru kepadanya.9)  Kuttab, merupakan rumah seorang guru yang menjadi tempat belajar dan dilengkapi dengan asrama tempat para siswa. Tokoh intelektual yang mengajar murid di kuttab antara lain Abu Al-Qasim Al-Balkhy yang memiliki ribuan murid. 10)
Pasca masjid khan dan kuttab, pendidikan Islam memasuki babak baru dalam bentuk madrasah dan al-jami’ah; diantara yang masyhur adalah :
  1. Baitul-aikmah di Bagdad yang didirikan pada masa khalifah Al-Makmun (198-202 H / 813-817 M), seorang khalifah penganut aliran Mu’tazilah.
  2. Perguruan Tinggi Al-Azhar di Kairo (359 H / 970 M), Dârul-Hikmah (395 H / 1005 M), dan Dârul-’Ilmi (403 H / 516 M) yang didirikan oleh Khalifah Bani Fatimiyah yang mengembangkan aliran Syi’ah.
  3. Bersamaan dengan lahirnya Al-Azhar di Kairo, universitas lainnya berkembang di Qawariyyun (Maroko) dan Zaituna (Tunisia)
  4. Madrasah Niýamiyyah yang didirikan oleh Niýâmul-Mulk seorang wazir pada pemerintahan Bani Saljuk yang juga seorang ilmuwan, yang menganut aliran Sunny pada tahun 1065-1067. 11)
Tradisi keilmuan Islam juga telah melahirkan kaum intelektual sejak generasi sahabat dan berlanjut dari satu generasi ke generasi sampai masa kini. Para intelektual muslim telah meninggalkan warisan keilmuan dalam bentuk karya tulis yang sangat berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Hampir di semua bidang ilmu muncul intelektual muslim yang memeloporinya, misalnya ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’y, dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dalam bidang hukum dan teologi; Zunnun al-Mișri, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj, dan al-Gazali dalam bidang tawawuf; al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih dalam bidang filsafat; Ibnu Haysam, Ibnu Hayyan, al-Khawarizmi, al-Mas’udi, dan al-Razi dalam bidang ilmu pengetahuan umum. 12)
Tradisi keilmuan Islam mengalami pasang surut. Setelah mengukir sejarah emas dalam masa sangat panjang dan berhasil menempatkan diri sebagai pusat ilmu dan budaya yang dijadikan nara sumber bagi para ilmuwan Eropa; akhirnya pada pertengahan abad ke XIII Masehi sampai tahun 1800 mengalami kemunduran intelektual. Masa itu tidak ada lagi penemuan keilmuan dari para ilmuwan maupun ulama Islam. Supremasi politik, budaya, dan keilmuan diambil alih oleh dunia Barat. Hegemoni Barat menguasasi daulah Islam. Sementara itu, ilmu pengetahuan di dunia Islam mengalami stagnasi. Umat Islam dipengaruhi sikap fatalistis.
Mulai tahun 1800, Islam memasuki dunia modern, Periode ini merupakan zaman kebangkitan Islam yang dimulai sejak ekspedisi Napoleon berhasil menduduki Mesir pada  tahun 1798 sebagai salah satu pusat terpenting di dunia Islam. Raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of power yang telah pincang. Dengan demikian timbullah apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam. 13)
Dengan belajar dari penjajah Eropa yang menguasai dunia Islam, serta berusaha lepas dari dari kungkungan tradisi dan berjuang untuk mencapai kemerdekaan dari hegemoni penjajah Eropa, para pembaharu Islam, dipelopori oleh Jamaluddin al-Afgani, Inbu Taimiyah dan Syekh Muhammad ’Abduh, menyusun gerakan reformasi Islam. Esensi ajarannya mengembalikan pola fikir, pola gerakan dan pandangan hidup muslim pada tauhid yang bersih.
III. TRADISI KEILMUAN SUNNY DAN SYI’IY
Tradisi Sunny dan Syi’iy tidak dapat dilepaskan dari doktrin-doktrin kedua aliran tersebut. Munculnya kedua aliran tersebut dipicu faktor politik yang berawal dari perbedaan konsep imamah. Dalam hal ini, Sunny mendasarkan pada prinsip musyawarah (ijma’) dengan mengembangkan kesepakatan-kesepakatan; sementara bagi Syi’ah, imamah kenabian ditunjuk oleh Allah SWT, dan imamah pengganti Nabi ditunjuk oleh Nabi yaitu kalangan keluarga Nabi (ahlul-bait). Hadis Nabi yang menjadi dasar doktrin imamah Syi’ah adalah : ”Aku tinggalkan apa yang akan menghindarkan kalian dari kesesatan selama kamu berpegang teguh padanya yaitu Kitab Allah, as-Sunnah, dan kerabatku ”.14) Konflik awal di bidang politik itu, selanjutnya berkembang pada masalah-masalah yang terkait dengan keagamaan dan pendidikan termasuk tradisi keilmuan yang dikembangkannya.
A.  Tradisi Keilmuan Sunny.
Sepanjang perjalanan historisnya, tradisi keilmuan Sunny terutama diabdikan kepada al-’ulûmud-dîniyyah yaitu ilmu-ilmu agama dengan penekanan khusus pada bidang Fikih dan Hadis. Ilmu-ilmu keduniaan khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta pada posisi marjinal. 15). Muhammad Jamil Hayat yang pendapatnya dikutip Maksum menambahkan tradisi keilmuan madrasah dengan al-’ulûmul-lisâniyyah yang mencakup ilmu bahasa dan sastra seperti ilmu Nahwu dan Șorf sebagai alat untuk medalami ilmu an-Naqliyyah. Dengan penekanan pada ’ulûmud-dîniyyah dan bahasa, mereka menolak Filsafat dan Mantik karena dianggap menyesatkan, sehingga banyak ulama Sunny yang mengarang buku untuk menolak ajaran tersebut. 16) Dalam kaitan ini, Azyumardi menyatakan bahwa ilmu-limu naqliyyah memberi ruang gerak untuk melakukan ijtihad –meskipun bukan dimaksudkan berfikir sebebas-bebasnya-. Ijtihad pada masa klasik bukan melatih berfikir rasional, melainkan bermakna memberikan penafsiran baru atau pemikiran independent yang tetap berada pada kerangka atau prinsip-prinsip doktrin yang mapan, dan telah disepakati.
Kesepakatan-kesepakatan yang dikembangkan tradisi Sunny, dapat dilihat pada berbagai bidang, seperti teologi, ilmu-ilmu al-Qur’an, ilmu-ilmu Hadis, bidang hukum, maupun tasawuf. Sesuai dengan karakter wasatan (mengambil jalan tengah), dalam bidang teologi, pemikiran Sunny bersifat eklektik. Masalah qada dan qadar yang menyangkut kehendak manusia mengikuti pemikiran Qadiriyah. Tentang dosa besar, memilih pendapat Murji’ah yang menyatakan bahwa sang pelaku tidak difonis kafir, malainkan fasik. 17) Tentang imamah yang terutama dalam kepemimpinan komunitas muslim setelah Nabi Muhammad saw adalah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Dalam hal Usman, tidak semua kaum Sunni sepakat ada dalam urutan ketiga, karena ada yang beranggapan kedudukan Ali lebih tinggi.18)
Kesepakatan dalam ilmu-ilmu al-Qur’an terwujud dalam bentuk dibakukannya qira’ah sab’ah yang meskipun tidak didukung semua komponen, secara yuridis formal telah didukung oleh pengadilan. Dalam bidang tafsir telah terbit tafsir At-Tabari karya mufassir besar Muhammad Ibnu Jarir at-Tabari yang menghimpun ulasan-ulasan para mufassir generasi sebelumnya dengan bermacam corak dan orientasinya. Dalam bidang ilmu-ilmu Hadis, sejak semula, kodivikasi hadis yang bermula pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz pada abad II, kaum Sunny telah mensepakati adanya enam (6) kitab kumpulan hadis-hadis sahih yaitu Al-Jami’ karya Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Turmużi, sertya kitab Sunan karya Imam Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Imam Nasai. 19)  Dalam bidang hukum, mazhab fikih yang dibakukan sebagai hasil konsensus yang dapat diterima dan diikuti sebagian besar masyarakat muslim adalah mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali dan mazhab Zahiriyah.20) Dalam bidang tasawuf, konsolidasi Sunny dipelopori Al-Ghazali yang telah merumuskan dan membangun tasawuf akhlak menjadi satu sistem universal di kalangan Sunny.
B.  Tradisi keilmuan Syi’iy.
Tradisi intelektualisme Syi’iy berbeda dengan Sunny yang  menekankan pada ’ulûmud-dîn. Intelektualisme Syi’ah dibangun atas perpaduan prinsip-prinsip dasar Islam dengan tradisi intelektual dan ajaran spiritual Persi. Tradisi ini menekankan pada filsafat dan sains. Hal ini nampak pada banyaknya ilmuwan Persi pada masa klasik seperti dikemukakan oleh Mehdi Amin Razavi dalam Pengantar editor buku The Islamic Tradition in Persi, karya Hossen Nasr yaitu Ibnu Rusydi seorang ahli Biologi dan dokter terkenal; Ibnu Sina sebagai ahli biologi, dokter dan filsuf; Al-Biruni, ahli biologi, astronomi, matematika, psikologi, kimia, dan obat-obatan; Sugrawardi, seorang filsuf dan sufi dengan konsepnya tentang al-isyraq. 21)
Tradisi keilmuan Syi’iy juga mendasarkan pada teologi Syi’ah yang menempatkan al-Qur’an dan Hadis sebagai fondamen pokok, dengan interpretasi model Syi’ah. Teologi Syi’ah mewujudkan doktrin imamah, kesyahidan dan dikotomi antara mustad’afîn (kaum tertindas) dan mustakbirîn (kaum penindas). Dalam penafsiran al-Qur’an dan Hadis, tradisi yang dikembangkannya berusaha menyesuaikan penafsiran ayat-ayat Allah dengan prinsip-prinsip mereka; misalnya tentang konsep imamah Imam Ali. Pengumpulan al-Qur’anpun hanya mengakui Imam Ali sebagai kodifikator. Tradisi tafsir Syi’ah dikembangkan tafsir isyari yang dilakukan para imam dan ulama Syi’ah. 22)  Dalam bidang Hadis, tradisi Syi’ah hanya menerima hadis-hadis dengan rawi dari muhadditsîn ahlul-bait (Syi’ah). Hadis-hadis mereka sebagian memuat justifikasi konsep imamah. Dalam bidang hukum Islam, mereka menempatkan Imam dan Ulama sebagai pengganti Rasul yang mempunyai otoritas yuridis.
Peran Imam dan Ulama nampak dalam konsep ”wilayah faqih dan marja’ taqlid”. Wilayah faqih adalah pemerintahan para fuqaha yaitu suatu bentuk negara Islam di mana kekuasaan sepenuhnya berada di tangan para fuqaha (mullah) yaitu mereka yang memiliki pemahaman ajaran dan peraturan Islam serta memiliki keutamaan dalam iman dan akhlak. Marja’ taqlid berarti orang atau kelompok orang yang memiliki otoritas yuridis dalam umat Syi’ah, sangat alim, yang fatwa-fatwanya mengenai syari’ah diikuti oleh mereka yang meyakininya dan praktik-praktik keagamaan yang dilakukannya selalu didasarkan pada fatwa-fatwa mereka. 23) Kedua konsep tersebut menunjukkan betapa tradisi Syi’ah dalam masalah hukum sangat menggantungkan pada otoritas ulama. Ada ketaatan yang luar biasa di kalangan komunitas Syi’ah terhadap ulama sebagai pengganti Imam yang menghilang sejak Imam ke duabelas. Dalam bidang tasawuf, tradisi mistiknya sangat kental. Para ulama Sufi dianggap mursyid, syekh, atau guru-guru sufi yang harus ditaati secara total. Banyak zawiyah-zawiyah dan ribat sebagai pusat komunitas sufi dari kalangan Syi’ah. Pemimpin mereka dianggap sebagai wali yang memiliki kekuatan spiritual sehingga dapat membangun komunikasi langsung dengan Allah. Tokoh tasawuf filsafat Sughrawardi juga berasal dari Persi yang mengajarkan al-Irsyraq.



IV. MODEL-MODEL PENDIDIKAN SUNNY DAN SYI’AH. 
Tradisi keilmuan, nampak jelas dalam institusi-institusi pendidikan. Ada berbagai macam variasi model-model pendidikan. Hasan Muhammad Hasan dan Nadyah Jamaluddin dalam bukunya Madâris at-Tarbiyyah fî adarah al-Islamiyyah, yang dikutip Maksum, menggambarkan corak dan model-model pendidikan yang berkembang pada masa klasik adalah :
1.      Failosuf menggunakan istilah : Dârul-ikmah, al-Muntadiyât, Hawanit, dan Warraqi’în.
2.      Mutașawwif menggunakan : az-Zawaya, ar-Ribat, al-Masâjid, dan alaqatuż-Żikr.
3.      Syi’iyyîn menggunakan : Dârul-ikmah, al-Masâjid, dan Pertemuan Rahasia.
4.      Mukallamîn menggunakan : al-Masâjid, al-Maktabah, Hawanit,al- Warraqi’în, dan al-Muntadiyât.
5.      Fuqahâ’ (dan ahli Hadis) menggunakan al-Katatib, al-Madâris, dan al-Masâjid.24)
Mencermati klasifikasi klasifikasi tersebut, dapat difahami bila sistem pendidikan Syi’ah mengambil model Dârul-ikmah, al-Masâjid, dan Pertemuan Rahasia; sedangkan Sunny mengambil model madrasah, masjid, dan kuttab. Menurut data tersebut, madrasah merupakan model khusus untuk Sunny,  sementara Syi’ah tidak ada model madrasah. Ada data lain yang dapat dijadikan komparasi yaitu temuan Al-Akbar Farhangi dalam disertasinya, dia menyebut, bahwa pada awal pertengahan abad 19 di Iran terdadapat lima institusi pendidikan yaitu : keluarga, masjid, pasar, maktab dan madrasah.25)
Melihat data tersebut, ternyata dalam tradisi pendidikan di kalangan Syi’ah madrasah merupakan model pendidikan masa modern. Istilah lain dari madrasah yang dikenal di Iran yaitu Hawzeh. Bagi kalangan Sunny, madrasah sebagai model pendidikan masa klasik. Dalam perkembangan berikutnya, madrasah merupakan model pendidikan tinggi. Al-Azhar, yang semula merupakan model al-jami’ah Syi’ah, dalam perkembangan berikutnya menjadi model pendidikan tinggi Sunny. Al-Jami’ah Syi’ah diwakili oleh Dârul-’Ilmi dan Dârul-ikmah; meskipun Azyumardi mengenggap bahwa institusi tersebut bukan al-jami’ah tapi pusat research.
Dalam tradisi Sunny, institusi pendidikan diarahkan pada pendidikan agama dengan tujuan agar siswa mengauasai ilmu-ilmu agama, disamping memiliki maksud untuk propaganda faham Sunny dalam rangka menghadapi ekspansi faham Syi’ah.26) Tujuan Hawzeh Syi’ah diarahkan agar siswa dan mahasiswa memiliki wawasan intelektual yang luas, untuk dapat memahami ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari sumber hukum yang diyakini sebagai rujukan dalam teologi Syi’ah yaitu al-Qur’an, Hadis-hadis Syi’ah, ijma’ ulama Syi’ah, dan ijtihad. 27)
Madrasah Sunny menekankan pada ’ulûmud-dîniyyah dan ’ulûmul-lisâniyyah. Mata pelajaran yang tercakup dalam ’ulûmud-dîniyyah yaitu Tafsir, Qira’at, Hadis, dan Usul Fikih. ’Ulûmul-lisâniyyah terdiri dari ’Ilmul-Lugah, ’Ilmun-NaÊwu, ’Ilmul-Bayân, dan Al-Adab. Menurut ’Atiyah al-Abrasyi, dalam madrasah diajarkan juga pengajaran agama Islam yang meliputi fikih empat mazhab, Tauhid dan Bahasa Arab. 28)
Sistem pendidikan pada Hawzeh Syi’ah bercorak Filsafat. Hawzeh, disamping mengajarkan ilmu-ilmu agama –yang meliputi Fikih, Usul Fikih, teologi Syi’ah, Al-Qur’an, Hadis, dan Akhlak, juga mengajarkan bahasa, logika dan filsafat yang disajikan secara bertahap menurut tingkat keilmuan. Diluar itu, juga menawarkan  mata pelajaran umum yang dikaji di luar kurikulum, dan dilaksanakan pada waktu-waktu luang di hari libur. Mata pelajaran dimaksud meliputi teologi skolastik, biografi, astronomi, sosiologi, psikologi, ideologi, dan bahasa Inggris. 29) Mencermati kurikulum Hawzeh, sebenarnya mengutamakan pada pendidikan agama, utamanya teologi Syi’ah dan kemampuan menetapkan hukum-hukum Islam. Posisi mata pelajaran bahasa, logika, dan filsafat, sebagai ilmu alat untuk memahami dan mengembangkan wawasan intelektual muslim. Ilmu-ilmu pengetahuan umum seperti psikologi, sosiologi, ideologi, posisinya sebagai ilmu bantu yang memang harus dikuasai oleh muslim dalam kontek studi Islam.
Dari sisi tingkat pendidikan, madrasah Sunny menerapkan jenjang pendidikan dengan sistem klas yang ditempuh siswa dari jenjang pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Administrasinya sudah diatur rapi. Masing-masing tenaga kependidikan memiliki peran sesuai fungsinya.
Ada yang berfungsi sebagai mudarris (pengajar), mu’id (asisten), dan wu’ad (tutor). Ada juga nazir atau wali yang mempunyai tanggung jawab terhadap aktifitas madrasah, dan dipilih dari orang-orang yang ahli di bidangnya masing-masing. 30)
Jenjang pendidikan bagi Hawzeh tidak mendasarkan pada kelas, tetapi pada kualitas ilmu. Mereka membagi menjadi program tingkat dasar, tingkat menengah, dan program tingkat tinggi. Tingkat dasar diajarkan ilmu-ilmu dasar dan ilmu alat seperti bahasa dan logika. Tingkat menengah diarahkan pada pada kemampuan membaca teks-teks tentang kaidah usul dan filsafat. Pada level ini, para pelajar diharuskan menyelesaikan buku tertentu. Tingkat tinggi diarahkan pada analisis dan pemecahan masalah di luar teks. Mahasiswa dilatih dan diajak mendiskusikan untuk dapat memahami dan menganalisa tradisi dan sejarah yang berhubungan dengan masalah-maslah tersebut. Akhir dari materi, mahasiswa diharapkan memiliki kecakapan dan wawasan intelektual yang luas, mendasarkan pada teologi Syi’ah. Sistem pendidikannya menerapkan sistem individual dan kelompok atau halaqah. Dalam mengajar, seorang ustaz mengkaji satu kitab yang ditunjuk, dari awal sampai akhir yang diikuti oleh para murid yang berminat. Metode yang digunakannya adalah metode diskusi, bukan ceramah. Mahasiswa diberi kebebasan untuk menanyakan dan menyanggah baik dengan sesama mahasiswa maupun dengan guru. Melalui cara ini, mereka dilatih untuk mengembangkan wawasan intelektual yang luas dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip yang diyakininya. 31)
Dengan mendiskusikan tentang filsafat dan pengetahuan lainnya, bukan berarti larut pada teori-teori Barat yang dipelajarinya, tetapi justru dicari titik lemahnya, untuk kemudian dirumuskan konsep kebenaran menurut teori-teori Islam dengan mendasarkan pada teoloi dan ijtihad model Syi’ah.
Mencermati dua tradisi Sunny dan Syi’iy semakin meyakinkan, bila kedua tradisi itu merupakan kekayaan peradaban Islam yang tidak perlu dipertentangkan. Untuk mempertemukannya juga banyak kendala, karena keduanya memiliki prinsip-prinsip ajaran yang diyakininya. Upaya saling memahami posisi dan peran masing-masing dalam peta keilmuan Islam sangat diperlukan, dengan maksud untuk bersama-sama mewujudkan masyarakat ilmiyah dengan tradisi intelektualisme Islam yang dikembangkannya. Upaya dialog terbuka untuk dapat saling memahami dan mentransver kelebihan masing-masing sangat membantu mengembangkan pola hubungan yang lebih mengutamakan pengembangan keilmuan Islam dalam sistem masyarakat ilmiah yang mengutamakan ukhuwah Islamiyah dalam rangka membangun dunia Islam; dalam sistem masyarakat ilmiyah yang mengutamakan ukhuwah Islamiyah dalam rangka membangun dunia baru Islam.




  1. V.    PENUTUP
Tradisi keilmuan Sunny dan Syi’iy dan model pendidikan madrasah dan Hawzeh merupakan kekayaan peradaban Islam yang bermuara dari tradisi keilmuan Islam yang diisyaratkan Al-Qur’an dan telah dikembangkan oleh Nabi Muhammad saw sebagai prototipe insan teladan.
Belajar dari tradisi keilmuan yang dikembangkan Sunny dan Syi’iy, kiranya perlu dikembangkan wawasan keilmuan Islam dengan paradigma baru yang berangkat dari hakekat  kebenaran  normatif  Islam sebagai agama wahyu, untuk menjawab tantangan ke depan dengan mengaktualisasikannya dalam gerakan intelektual sosio relegious.
Pengembangan keilmuan Islam diarahkan pada gerakan sosial keagamaan yang mengakomodasi semua bidang-bidang ilmu. Di Perguruan Tinggi Islam, mahasiswa diberi kebebasan untuk mengambil minimal dua bidang ilmu, yaitu ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu-ilmu kealaman. Basic science seperti bahasa, logika, matematika dan filsafat ilmu merupakan matakuliah wajib tempuh di semua program studi.
Pola hubungan keilmuan dengan mengembangkan komunikasi trans aksi, antara mahasiswa dengan dosen, mahasiswa dengan mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan analitis dan membuka wawasan intelektualisme yang lebih luas.
Yogyakarta, 18 Februari 2010























DAFTAR PUSTAKA.



 ’Abdul ’Aziz A schedina, Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi’ah, Bandung, Mizan, 1991.
Abdur Razaq Naufal, Ummat Islam dan Sains Modern, Bandung, Husain, 1987.
Abu Bakar Aceh, Syi’ah : Rasionalisme dalam Islam, Semarang, Ramadlani, 1980.
Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta, Bulan Bintang, 1978.
Ali Akbar Farhangi, An Investigation of th Ideological Fondation and Administrative Structure of Higher Education in Iran from Islamic Madressahs to Western Style Universities, Disertasi pada Ohio University, Michigen, A Bell & Howell Information Company, 1992.
Aqiqi Bakhshayeshi, Ten decades of Ulama’s Struggle, Teheran, Islamic Propagation Organisation, 1985.
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibraim Husein, Jakarta, Bulan Bintang, 1979.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.
_______, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Jakarta,Logos Wacana Ilmu, 1998.
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Pers, 1984
Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, terj. Djahdan Humam, Yogyakarta, Kota Kembang, 1989, ed. 1., cet. 1.
Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir Al-Qur’an, Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj Mochtar Z, Bandung, Pustaka, 1977.
Maksum, Madrasah : sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.
Nouruzzaman Siddiqi, jeram-jeram Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Otgomery Watt, Kajian Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, terj Hartono H., Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990.
Reynold, Alleyne Nicholson, A Literary History of the Arabs, Delhi, Adam Publishers & Distributers, tth.
Sayed Husein Nashr, The Islamic Tradition in Persia, ed. Mehdi Amin Razavi, New Delhi, Curzon Press, 1996.
Syarafuddin Al-Musawi, Dialog Sunnah Syi’ah, Bandung, Mizan, 1983.

1) Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hal 12.
2) Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, terj Djahdan Humam (Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), ed 1, cet 1, hal 38.
3) Nourazzaman Siddiqi, Jeram-jeram Peradaban Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hal 47
4) Reynold, Alleyne Nicholson, Aliterary History of The Arabs (Delhi : Adam Publishers & Distributors, tth), hal. 336
5) Abu Bakar Aceh, Syi’ah, Rsionalisme dalam Islam (Semarang : Ramadlani, 1980), hal 27.
6) Abdur-Razaq Naufal, Ummat Islam dan Sains Modern ( Bandung : Husain, 1987), hal. 7
7) Hasbi Aș-Șiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta ; Bulan Bintang, 1986), hal. 69
8) Abdur-Razaq Naufal, Op.Cit, hal 23.
9) Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), cet II, hal. 57.
10) Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam, (jakarta : Bulan Bintang, 1978), terj. Muhtar Yahya dan  Sanusi Latif, hal. 41.
11) Ibid, hal. 100; Maksum, Op.Cit, hal 59; Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hal. 38. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 52.
12) Azumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim & Pendidikan Muslim, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 52
13) Harun Nasution, Op.Cit., hal 89.
14) A Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah Syi’ah, (Bandung : Medan, 1983), hal 35, dan Ali Akbar Farhangi, An Invertigation of the Ideological Foundation and Administrative Structure of Higher Education in Iran from Islamic Madressahs to Western Style Universiies, disertasi pada Ohio University, (Michigan : A Bell & Howell Information Company, 1992), hal.58.
15) Azumardi Azra, Pendidikan Islam, Op.Cit, hal. 1x.
16) Maksum, Op.Cit., hal.69-70.
17) Nourozzaman, Op.Cit, hal 50.
18) Ontgomery Watt, Kajian Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, terj. Hartono H. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990), hal. 182.
19) Ibid, hal. 184,186.
20) Nouruzzaman, Op.Cit., hal 49.
21) Sayyed Husein Nasr, The Islamic Tradition in Persia, ed. Mehdi Amin Razavi (New Delhi : Curzon Press, 1996), hal xiii
22) Mahmud Basuni Faudah, Tafsir Al-Qur’an, Perkenalan dengan Metode Tafsir, terj. Mochtar Z, ( Bandung : Pustaka, 1977), hal. 135
23) Abdul Aziz A Schedina, Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi’ah, (Bandung : Mizan, 1991), hal. 12
24) Maksum, Op.Cit, hal.52
25) Ali Akbar Farhangi, Op.Cit. hal. 80.
26) Mahksum, Op.Cit. hal. 59.
27) Aqiqi Bahsyayeshi, Ten Dekades of ‘Ulama’s Struggle, (Teheran : Islamic Propagation Organisation, 1985), hal. 240.
28) Maksum, Op.Cit., hal. 71.
29) Aqiqi Bakhsyayeshi, Op. Cit., hal 240.
30) Maksum, Op.Cit., hal. 67.
31) Aqiqi Bakhsyayeshi, Op. Cit., hal 241

PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI



PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI


A. Pendahuluan

Ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali diceburkan dalam persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami bahwa sebagian dari sejarah kehidupan K. H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan usaha-usaha sosial politik.
Akan tetapi, K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan. Sebagaimana dapat disaksikan, bahwa K. H. Hasyim Asy’ari mau tiak mau bisa dikategorikan sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama di Jawa.[1]

B. Biografi

Nama lengkap K. H. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.[2]

Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).[3]

Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya. Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.[4]

Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.[5]

Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.

Setelah nikah, K. H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits, terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.

Disaat K. H. Hasyim Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.

K. H. Hasyim Asy’ari semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.

Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.[6]

Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

K. H. Hasyim Asy’ari dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.

Pada tahun 1926 K. H. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. Hasyim Asy’ari. Ia pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang untuk wilayah Jawa dan Madura.

K. H. Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan untuk kepentingan agama dan pendidikan.[7]

C. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Pendidikan

Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.[8]

Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.

Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya. Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam.

Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.

Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.

Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.[9]

Sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan Islam tradisional, khususnya di Jawa, peranan kiai Hasyim yang kemudian terkenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren), sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pimpinan pesantren. Banyak pesantren besar yang terkenal, terutama, yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah, dikembangkan oleh para kiai hasil didikan kiai Hasyim.[10]

Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelikannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau adalah “niat yang baik dan lurus”.[11]

Salah satu karya monumental K. H. Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah kitab Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allum wa ma Yataqaff Al-Mu’allimin fi Maqamat Ta’limih yang dicetak pertama kali pada tahun 1415 H. sebagaimana umumnya kitab kuning, pembahasan terhadap masalah pendidikan lebih ditekankan pada masalah pendidikan etika. Meski demikian tidak menafikan beberapa aspek pendidikan lainnya. Keahliannya dalam bidang hadits ikut pula mewarnai isi kitab tersebut.[12]

Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan. Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.[13]

Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika dalam pendidikan, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau.

Betapa majunya pemikiran Hasyim Asy’ari dibanding tokoh-tokoh lain pada zamannya, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Dan pemikiran ini ditumbuh serta diangkat kembali oleh pemikir pendidik zaman sekarang ini, yaitu Harun Nasution, yang mengatakan hendaknya para dosen-dosen di Perguruan Tinggi Islam khususnya agar membiasakan diri untuk menulis.[14]

Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan actual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.[15]

Menurut Hasyim Asya’ri ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang pendidik Islam, beberapa hal tersebut adalah adab atau etika bagi alim / para guru. Paling tidak menurut Hasyim Asy’ari ada dua puluh etika yang harus dipunyai oleh guru ataupun calon guru.

Pertama, selalu berusah mendekatkan diri kepada Allah dalam keadaan apapun, bagaimanapun dan dimanapun.

Kedua, mempunyai rasa takut kepada Allah, takut atau khouf dalam keadaan apapun baik dalam gerak, diam, perkataan maupun dalam perbuatan.

Ketiga, mempunyai sikap tenang dalam segala hal.

Keempat, berhati-hati atau wara dalam perkataan,maupun dalam perbuatan.

Kelima, tawadhu, tawadhu adalah dalam pengertian tidak sombong, dapat juga dikatakan rendah hati.

Keenam, khusyu dalam segala ibadahnya.

Ketujuh, selalu berpedoman kepada hokum Allah dalam segala hal.

kedelapan, tidak menggunakan ilmunya hanya untuk tujuan duniawi semata.

kesembilan, tidak rendah diri dihadapan pemuja dunia.

Kesepuluh, zuhud, dalam segala hal.

Kesebelas, menghindarai pekerjaan yang menjatuhkan martabatnya.

Kedua belas, menghindari tempat –tempat yang dapat menimbulkan maksiat.

ketigabelas, selalu menghidupkan syiar islam.

Keempat belas, menegakkan sunnah Rasul.

Kelimabelas, menjaga hal- hal yang sangat di anjurkan.

Keenam belas, bergaul dengan sesame manusia secara ramah,

ketujuhbelas, menyucikan jiwa. Kedelapan belas selalu berusaha mempertajam ilmunya.

Delapan belas, terbuka untuk umum, baik saran maupun kritik.

Sembilan belas,selalu mengambil ilmu dari orang lain tentang ilmu yang tidak diketahuinya.

Duapuluh, meluangkan waktu untuk menulis atau mengarang buku.

Dengan memiliki dua puluh etika tersebut diharapkan para guru menjadi pendidikan yang baik, pendidik yang mampu menjadi teladan anak didik. Di sisi lain, ketika pendidik mempunyai etika, maka yang terdidik pun akan menjadi anak didik yang beretika juga, karena keteladanan mempunyai peran penting dalam mendidik akhlak anak.

Untuk itu perlu kiranya para calon pendidik maupun yang telh menjadi pendidik untuk memiliki etika tersebut.[16]

D. Pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari tentang Sosial

Aktivitas K. H. Hasyim Asy’ari di bidang sosial lainnya adalah mendirikan organisasi Nahdatul Ulama, bersama dengan ulama besar di Jawa lainnya, seperti Syekh ‘Abd Al-Wahhab dan Syekh Bishri Syansuri.[17]

Mengenai orientasi pemahaman dan pemikiran keislaman, kiai Hasyim sangat dipengaruhi oleh salah seorang guru utamanya: Syekh Mahfuz At-Tarmisi yang banyak menganut tradisi Syekh Nawawi. Selama belajar di Mekkah, sebenarnya, ia pun mengenal ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh. Tetapi ia cenderung tidak menyetujui pikiran-pikiran Abduh, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan pengabaian Mazhab. Menurutnya kembali langsung ke Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa melalui hasil-hasil Ijtihad para imam mazhab adalah tidak mungkin. Menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits secara langsung, tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama besar dan imam mazhab, hanya akan menghasilkan pemahaman yang keliru tentang ajaran Islam. Latar belakang orientasi pemahaman keislaman seperti inilah yang membuat kiai Hasyim menjadi salah seorang pendiri dan pemimpin utama Nadhatul Ulama. Tidak kurang dari 21 tahun ia menjadi Rais ‘Am, ketua umum Nadhatul Ulama (1926-1947).[18]

KH Hasyim Asy’ari menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama agar memiliki perhatian serius kepada masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri.” Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan berdirinya Nahdlah at-Tujjar.

Berangkat dari kesadaran itulah Nahdlah at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang ketika itu disebut Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi tersebut berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah.[19]

Ketika organisasi sosial keagamaan masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih sebagai ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.

Pada tahun 1930 dalam muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).[20]

E. Karya K. H. Hasyim Asy’ari

Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.

Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.

Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan lain-lain.[21]

Sebagai seorang intelektual, K. H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal adalah sebagai berikut: (1) Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin, (2) Ziyadat Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman, (4) Al-Risalat Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah Sayyid Al-Mursalin, (6) Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat, (8) Al-Tibyan Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan, (9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah, (10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min Al-‘Aqaid.

Kitab ada Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan. Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343. K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula.[22]

F. Analisis

Mengajar merupakan profesi yang di tekuni oleh K. H. Hasyim Asy’ari sejak muda. Sejak masih di pondok pesantren ia sering dipercayakan mengajar santri-santri yang baru masuk oleh gurunya. Bahkan, ketika di Mekkah ia pun sudah mengajar. Sepulang dari Mekkah ia membantu ayahnya mengajar di pondok ayahnya, pondok Nggedang. Kemudian ia mendirikan pondok pesantren sendiri di desa Tebuireng, Jombang. Hasyim Asy’ari sengaja memilih lokasi yang penduduknya dikenal banyak penjudi, perampok, dan pemabuk. Mulanya pilihan itu ditentang oleh sahabat dan sanak keluarganya. Akan tetapi, Hasyim Asy’ari meyakinkan bahwa mereka bahwa dakwah Islam harus lebih banyak ditujukan kepada masyarakat yang jauh dari kehidupan beragama. Demikianlah pada tahun 1899 di Tebuireng berdiri sebuah pondok yang sangat sederhana. Bertahun-tahun kiai Hasyim membina pesantrennya, menghadapi berbagai rintangan dan hambatan, terutama dari masyarakat sekelilingnya. Akhirnya, pesantren itu tumbuh dan berkembang dengan pesat.

G. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan pesantren).

Peranan kiai Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.

Dan pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
[1]. A. Mujib, Dkk. Entelektualisme Pesantren, PT. Diva Pustaka. Jakarta. 2004 h. 319


[2]. Ibid, h. 319

[3]. httpwapedia.mobimsHasyim_Asy%27ari.htm

[4]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[5]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm

[6]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 319-320

[7]. Ensiklopedia Islam, Departemen Agama, Jakarta 1993. h. 138-139

[8]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320

[9]. httplppbi-fiba.blogspot.com200903komparasi-pemikiran-kh-ahmad-dahlan-dan.html

[10]. Ensiklopedia Islam, Departemen Pendidikan Nasional. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2003). h. 309

[11]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[12]. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2005). h. 218

[13]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[14]. httphabibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.html

[15]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm

[16]. httpriwayat.wordpress.com20080707etika-pendidik-islam-menurut-kh-hasyim-asy%E2%80%99ari.htm

[17]. A. Mujib, Dkk, Op Cit. h. 320

[18]. Ensiklopedia Islam, Op Cit. h. 309

[19]. Nuril M Nasir Alumnus Ma’had al-Islamiyyah as-Salafiyyah asy-Syafi’iyah, Pamekasan, Madura httpopiniindonesia.comopinip=content&id=155&edx=TWVuZ2dlcmFra2FuIEVrb25vbWkgV2FyZ2EgTlU=.htm

[20]. Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Ensiklopedia Islam, (Cet IV. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta 1997). h. 102

[21]. httppesantren.tebuireng.netindex.phppilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=30.htm


PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN



PEMIKIRAN K.H. AHMAD DAHLAN

Pendahuluan

Muhammad Dahlan dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil yang mengajarinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. la menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Mekkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan eorak keagamaan yang sarna, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (keislaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).

Riwayat Hidup Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
 Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, yaitu Katib Harum, Mukhsin atau Nur, Haji Shaleh, Ahmad Dahlan, ’Abd Al-Rahim, Muhammad Pakin dan Basir.
 Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.
 Selelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
 Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan saat itu.
 Sekembalinya dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi’i di Mekkah, yaitu Ahmad b. Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar pengajian anak -anak. Keadaan ini telah menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan semakin luas di masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai, ia dikategorikan sebagai ngulomo (ulama) atau intelektual.
 Tidak berapa lama dan kepulangannya ke tanah air, K.H. Ahmad Dahlan menikah dengan Walidah b. Kiai Pcnghulu Haji Fadhil (terkenal dengan Nyai Ahmad Dahlan) yang mendampinginya sampai akhir hayat.
 Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
 Menurut cacatan sejarah, sebelumnya K.H. Ahmad Dahlan pernah kawin dengan Nyai ‘Abd Allah, janda dari H. ‘Abd Allah. Ia juga pernah kawin dengan Nyai Rumu (bibi Prof. A. Kahar Muzakkir) adik pebghulu ajengan penghulu Cianjur. Dan konon, ia juga pernah kawin dengan Nyai Solekhah, putrid Kanjeng Penghulu M. Syafi’i adik Kiai Yasin Paku Alam Yogya.
 Semenjak ayahnya wafat, K.H. Ahmad Dahlan diangkat sebagai pengganti ayahnya menjadi ketib Mesjid Agung Kauman Yogyakarta, karena dianggap memiliki persyaratan yang secara konvensional disepakti dikalangan masyarakat. Setelah menjadi abdi dalem, oleh teman seprofesinya dan para kiai, K.H. Ahmad Dahlan diberi gelar Ketib Amin (khatib yang dapat dipercaya). Disamping jabatan resmi itu, ia juga berdagang tekstil ke Surabaya, Jakarta bahkan sampai ke tanah seberang (Medan). Kendatipun sibuk dengan urusan bisnis, ia tetap menambah ilmu dengan mendatangi ulama serta memperhatikan keadaan umat Islam ditempat yang ia singgahi. Sampai kemudian K.H. Ahmad Dahlan meninggal duni pada tanggal 25 Februari 1923 M./7 Rajab 1340 H. di Kauman Yogyakarta, dalam usia 55 tahun.

Pemikiran Ahmad Dahlan
Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara. Menurut ilmu hisab yang ia pelajari, arah Kiblat tidak lurus ke Barat seperti arah masjid di Jawa pada umumnya, tapi miring sedikit 241/2 derajat. Perbuatan ini ditentang olen masyarakat, bahkan Kanjeng Kiai Penghulu memerintahkan untuk menghapusnya. Lalu ia membangun Langgar sendiri di miringkan arah Utara 241/2 derajat, lagi-lagi Kanjeng Kiai Penghulu turun tangan dengan memerintahkan untuk merobohkannya. K.H. Ahmad Dahlan hampir putus asa karena peristiwa-peristiwa tersebut sehingga ia ingin meninggalkan kota kelahirannya. Tetapi saudaranya menghalangi maksudnya dengan membangunkan langgar yang lain dengan jaminan bahwa ia dapat mengajarkan pengetahuan agama sesuai dengan apa yang diyakininya. Peristiwa demi peristiwa tersebut rupanya menjadi cikal-bakal pergulatan antara pikiran-pikiran baru yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan pikiran-pikiran yang sudah mentradisi.
Memang tidak mudah bagi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyosialisasikan ide pembaharuannya yang dibawa dari Timur Tengah. Di samping karena masyarakat belum siap dengan sesuatu yang dianggap “berbeda” dari tradisi yang ada, juga karena ia belum punya wadah untuk menyosialisasikan tersebut. Kegagalan Ahmad Dahlan mengubah arah Kiblat, tidak menyurutkan nyalinya untuk tetap memperjuangkan apa yang diyakini.
 Sesudah peristiwa itu, pada tahun 1903 M. atas biaya Sultan Hamengkubuwono VII, K.H. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk mempelajari masalah Kiblat lebih mendalam dan menunaikan ibadah haji yang ke dua kalinya. Di sana ia menetap selama dua tahun. Bahkan ia pernah mengunjungi observatorium di Lembang untuk menanyakan cara menetapkan Kiblat dan permulaan serta akhir bulan Ramadhan. Perjuangannya ini cukup berhasil ketika pada tahun 1920-an masjid-masjid di Jawa Barat banyak yang di bangun dengan arah Kiblat ke Barat laut. Dan menurut catatan sejarah, Sultan sebagai pemegang otoritas tertinggi, menerima penentuan jatuhnya hari Raya ‘Idul Fitri, yang pada mulanya ditetapkan oleh Kesultanan berdasarkan perhitungan (petungan) Aboge.
Terobosan dan Strategi Ahmad Dahlan
 Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Lebih dari itu, karena anggota-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berharap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah-seko1ah pemerintah. Rupanya, pelajaran dan cara mengajar agama yang diberikan. Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ahmad Dahlan membuka sendiri sekolah secara terpisah. Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersifat permanen.
Gerakan Pembaruan Ahmad Dahlan
 Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
 Kemudian dia mengeliminasi upacara selametan karena merupakan perbuatan bid’ah dan juga pengkeramatan kuburan Orang Suci dengan meminta restu dari roh orang yang meninggal karena akan membawa kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Mengenai tahlil dan talqin, menurutnya, hal itu merupakan upacara mengada-ada (bid’ah). Ia juga menentang kepercavaan pada jimat yang sering dipercaya oleh orang-orang Keraton maupun daerah pedesaan, yang menurutnya akan mengakibatkan kemusyrikan.

Mendirikan Perserikatan Muhammadiyah Sebelum mendirikan Organisasi Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan aktif di berbagai perkumpulan, seperti Al-Jami’at Al-Khairiyyah (organisasi masyarakat Arab di Indonesia), Budi Utomo dan Sarekat Islam. Ia termasuk salah seorang ulama yang mula-mula mengajar agama Islam di Sekolah Negeri, seperti Sekolah Guru (Kweekschool) di Jetis Yogyakarta dan OSVIA di Magelang.

Selain berdagang pada hari-hari tertentu, dia memberikan pengajian agama kepada beberapa kelompok orang, terutama pada kelompok murid Pendidikan Guru Pribumi di Yogyakarta. Dia juga pernah mencoba mendirikan sebuah madrasah dcngan pengantar bahasa Arab di lingkungan Keraton, namun gagal.
 Selanjutnya, pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
 Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
 Tujuan Muhammadiyah terutama untuk mendalami agama Islam di kalangan anggotanya sendiri dan menyebarkan agama Islam di luar anggota inti. Untuk mencapai tujuan ini, organisasi itu bermaksud mendirikan lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh yang membicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat kabar dan majalah.
 Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak bisa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi duni secara realitis.
 Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan surat ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah Yokyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sbabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srakandan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah di luar Yokyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yokyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan jama’ah-jama’ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf Bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.
 Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
 Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
 Muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spiritual.
 Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
 Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah, kebijaksanaan, nasehat, ajakan, dan jika perlu dilakukan dengan berdialog.
 Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
 Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap lapisan masyarakat.
 Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah. Bagian ini menyelenggarakan tabligh khusus wanita, memberika kursus kewanitaan. Pemeliharaan fakir miskin, serta memberi bantuan kepada orang sakit. Kegiatan Muhammadiyah dengan ‘Aisyah ini berjalan baik, terutama karena banyak orang Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada organisasi ini.
 Di samping ‘Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan; (2) Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.

Analisa
 Cita-cita K.H. Ahmad Dahlan sebagai ulama cukup tegas, ia ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita Islam. Usaha-usahanya lebih ditujukan untuk hidup beragama. Keyakinannya bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu di bangun semangat bangsa.
 Dengan keuletan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan, dengan gerakannya yang tidak pernah luput dari amal, kelenturan dan kebijaksaan dalam membawa misinya, telah mampu menempatkan posisi “aman”, baik pada zaman penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Jejak langkah K.H. Ahmad Dahlan senantiasa menitik-beratkan pada pemberantasan dan melawan kebodohan serta keterbelakangan yang senantiasa berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.
 Arus dinamika pembahruan terus mengalir dan bergerak menuju kepada berbagai persoalan kehidupan yang semakin kompleks. Dengan demikian, peranan pendidikan Islam menjadi semakin penting dan strategis untuk senantiasa mendapat perhatian yang serius. Hal ini disebabkan, karean pendidikan merupakan media yang sangat strategis untuk mencerdaskan umat. Melalui media ini, umat akan semakin kritis dan memiliki daya analisa yang tajam dan membaca peta kehidupan masa depannya yang dinamis. Dalam konteks ini, setidaknya pemikiran pendidikan Ahmad Dahlan dapat diletakkan sebagai upaya sekaligus wacana untuk memberikan inspirasi bagi pembentukan dan pembinaan peradaban umat masa depan yang lebih proporsional.

Kesimpulan
 Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.
 Ide pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan mulai disosialisasikan ketika menjabat khatib di Masjid Agung Kesultanan. Salah satunya adalah menggarisi lantai Masjid Besar dengan penggaris miring 241/2 derajat ke Utara.
 Ketika berusia empat puluh tahun, 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah: ia memasuki perkumpulan Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya.
 Gerakan pembaruan K.H. Ahmad Dahlan, yang berbeda dengan masyarakat zamannya mempunai landasan yang kuat, baik dari keilmuan maupun keyakinan Qur’aniyyah guna meluruskan tatanan perilaku keagamaan yang berlandaskan pada sumber aslinya, Al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan akal sehat. Berangkat dari semangat ini, ia menolak taqlid dan mulai tahun 1910 M. penolakannya terhadap taqlid semakin jelas. Akan tetapi ia tidak menyalurkan ide-idenya secara tertulis.
 pada tanggal 1 Desember 1911 M. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini, pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan Sekolah Islam Swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah.
 Sumbangan terbesarnya K.H. Ahmad Dahlan, yaitu pada tanggal 18 November 1912 M. mendirikan organisasi sosial keagamaan bersama temannya dari Kauman, seperti Haji Sujak, Haji Fachruddin, haji Tamim, Haji Hisyam, Haji syarkawi, dan Haji Abdul Gani.
 Sementara itu, usaha-usaha Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut:
 Muhammadiyah sebagai gerakan Islam.
 Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah.
 Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.
 Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu ‘Aisyah.

DAFTAR PUSTAKA

Ensiklopedi Islam Indonesia. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2000).

Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam. (PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. 2001).

Mujib, A, dkk. Intelektualisme Pesantren. (Diva Pustaka. Jakarta. 2003).

Wikipedia Bahasa Indonesia dan Ensiklopedia Bebas. (Mizan. Jakarta. 2002).

Tags: biografi KH ahmad Dahlan muassis Muhamadiyah