Selasa, 02 April 2013

TRADISI KEILMUAN SUNNY DAN SYI’I MENUJU MASYARAKAT ILMIAH (KAJIAN TENTANG MODEL-MODEL PENDIDIKAN)



TRADISI KEILMUAN SUNNY DAN SYI’I
MENUJU MASYARAKAT ILMIAH
(KAJIAN TENTANG MODEL-MODEL PENDIDIKAN)
Dra. Siti ’Aisyah, M.Ag.


I.    PENDAHULUAN
Tradisi keilmuan dalam Islam muncul sejalan dengan lahirnya Islam, sejak wahyu pertama diturunkan yang dengan jelas memerintahkan Nabi membaca dan belajar melalui kalam. Islam secara doktrinal mengandung prinsip-prinsip keilmuan. Ayat-ayat pertama yang diwahyukan Allah dan banyaknya ayat-ayat yang mengandung pertanyaan retorik dari Allah semacam afalâ ta’qilûn  (apakah engkau tidak berakal) atau afalâ tatafakkarûn (apakah engkau tidak berakal) serta sejumlah hadis yang  relevan dengan tuntutan pencarian dan pengembangan ilmu, menunjukkan bahwa Islam sangat mendukung pengembangan ilmu. 1)
Tradisi keilmuan dalam Islam tampil dengan corak khas . Ia lahir dari perpaduan dan dialektika ajaran-ajaran doktrinair al-Qur’an dan al-Hadis tentang prinsipprinsip keilmuan dengan warisan budaya bangsa-bangsa di dunia semisal Yunani, India, Cina, Persia, dan Eropa, yang menampilkan karakter ruh Islam dalam wacana baru. Implikasinya, terdapat barmacam variasi tradisi keilmuan Islam, sejalan dengan dialektika dan beragamnya kondisi sosial, ekonomi maupun politik yang melingkunginya. Ada dua corak tradisi keilmuan yang secara makro menggambarkan representasi dan kekayaan peradaban Islam yaitu tradisi keilmuan tradisi keilmuan Sunny dan Syi’i. Dua grand pemikiran dan gerakan Islam tersebut berkembang dalam wacana doktrin dan historisitas yang berbeda.
Embrio pemikiran dan gerakan dua aliran Sunny dan Syi’i muncul ke permukaan sejarah Islam ketika berkecamuknya sikap pro dan kontra terhadap pemegang kekuasaan dengan basis agama pada masa khalifah Ali bin Abi Talib (35-41 H). Dengan adanya perang Siffin dan kekalahan diplomasi dari pihak Ali terhadap Mu’awiyyah, muncul kelompok pengikut Ali yang menolak abritase dan mendakwanya telah mengkhianati tanggung jawab dan menodai kesucian tugasnya sebagai pemimpin masyarakat muslim pilihan. Mereka memisahkan diri dari kelompok Ali dan dikenal dengan Khawarij. Pada masa itu, ummat Islam telah terpecah menjadi tiga blok politik yaitu Khawarij, Syi’ah, dan pendukung Umayah. 2)
Ditengah-tengah konflik ketiga golongan tersebut, ada segolongan ulama Madinah, Kufah, Damaskus dan Basrah, di bawah pimpinan Abdullah bin Umar menarik diri dari panggung politik praktis dan beralih orientasinya pada pengkajian masalah-masalahn agama baik dalam bidang hukum, tasawuf, maupun theologi. Para sarjana Barat menyebutnya golongan moderat dan kelompok oposisi saleh. Disebut moderat karena anti pada sikap-sikap ekstrim radikal. Sedangkan oposisi saleh karena para ulama tidak mendukung kelompok manapun dan tidak menunjukkan sikap menentang secara terbuka. Mereka terfokus pada kajian-kajian yang mengacu pada al-Qur’an dan Sunnah. 3) Sejak saat itulah muncul aliran Sunny dan Syi’i dalam masyarakat Islam. Sunny merupakan sebuah nama bagi kelompok muslim pendukung sunnah yang dalam memahami agama mempunyai prinsip dasar mengambil jalan tengah (wasaţan), berpegang pada asas keseimbangan yang mengacu pada al-Qur’an dan Sunnah serta berusaha mencari perdamaian antara dua sisi ekstrim yang bertentangan – yaitu antara naqal dan akal, antara dunia dan akherat serta antara fikih dan tasawuf. Kaum Sunny dikenal juga dengan muslim ortodoks yang pemikirannya berseberangan dan memposisikan sebagai oposisi dari Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazilah yang disebut juga dengan heterodoks.4)
Kaum Syi’i adalah para pendukung Imam Ali yang mengakui kepemimpinan legitimet sepeninggal Rasulullah saw., ada pada khalifah Ali bin Abu Talib, bukan Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan ataupun yang lainnya.  Kepemimpinan ummat berlanjut secara turun temurun kepada keturunan Imam Ali bin Abu Talib. Sampai Imam ke 12 yaitu Imam Muhammad Ibnu Hasan Al-Anșari. Imam terakhir dikenal dengan Al-Mahdi sebagai Imam sepanjang masa. Menurut keyakinan Syi’ah, Imam tersebut hilang sejak tahun 329 H, yang akan muncul kembali pada akhir zaman untuk menyelamatkan ummat Islam. Pada masa vakum, jabatan Imam diserahkan pada seorang ulama yang memiliki otoritas mengambil keputusan karena kefaqihannya di bidang hukum Islam dan kemuliaan akhlaknya. 5)
Kedua aliran Sunny dan Sy’i sampai sekarang menguasai dunia Islam, dalam wacana dan wilayah kekuasaannya masing-masing. Pada masa klasik, Sunny dan Syi’ah, sama-sama menguasai dunia pengetahuan dengan mendirikan madrasah setingkat universitas yaitu Niýamiyyah di Bagdad yang beraliran Sunny, sebagai tempat pendidikan dan propaganda Sunnyy; sementara Dârul-’Ilmi di Mesir sebagai tempat pendidikan dan propaganda aliran Syi’ah. Meskipun memiliki tradisi berbeda, – bahkan terkadang mengarah pada kompetisi dan konflik -, keduanya masih dalam koridor Islam. Masing-masing menampilkan wacana tradisi keilmuan Islam dengan ikatan aqidah dan sumber ajaran yang sama. Mempertemukan keduanya dalam satu wacana keilmuan keislaman dengan karakteristiknya masing-masing, justru menunjukkan keunikan Islam sebagai ajaran universal dan kosmopolit.
Tulisan ini bermaksud menyajikan dua tradisi keilmuan Sunny dan Syi’i, khususnya terkait dengan model-model pendidikan yang dikembangkannya. Untuk mensosialisasikan dan ekspansi doktrin-doktrinnya, mereka menggunakan media pendidikan. Model-model pendidikan yang dikembangkannya masing-masing memiliki karakter khas baik dari segi institusi, kurikulum, maupun metodologi pendidikannya.
II. TRADIS KEILMUAN ISLAM
Islam yang merupakan Dîn universal, memuat petunjuk yang mengatur seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Tradisi keilmuan dalam Islam muncul sejalan dengan lahirnya Islam, sejak wahyu pertama yang dengan jelas dan tegas memerintahkan Nabi untuk membaca dan belajar dengan perantaraan kalam. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan adanya prinsip-prinsip keilmuan ada 750 ayat, yang meliputi berbagai cabang ilmu, semisal QS. Yâsîn/36:38-40 menerangkan dasar-dasar astronomi; QS Al-Ambiyâ’/21:30 tentang ilmu alam, dan QS. Al-ijr/15:22 tentang geografi.6)
Rasulullah saw. adalah orang pertama yang memenuhi ajaran Al-Qur’an, karena Rasulullah yang telah membumikan Islam di tanah Arab selama kurang lebih 23 tahun. Rasulullah telah merintis aktifitas studi dan penelitian. Sunnah qauliyah dan fi’liyahnya merupakan bukti realis yang dapat dikaji. Hal ini dapat diamati dari upaya Nabi ketika memerintahkan untuk mencatat wahyu yang diturunkan kepadanya. Ada enam belas kuttâb yang ditunjuk Nabi, diantaranya Abu Bakar, Umar, ’Uśman, ’Ali, Zaid bin Śabit dan Ubay bin Ka’ab. 7) Rasulullah juga meminta para sahabat agar mempelajari bahasa selain Arab. Dari sini nampak betapa perhatian Rasulullah terhadap ilmu pengetahuan dengan memerintahkan para sahabatnya untuk mempelajari bahasa. 8)
Dalam Islam, iman dan ilmu berkembang seiring, bahkan saling melengkapi dan menyatu dalam pribadi akhlak karimah. Islam juga telah menyatukan kedudukan ibadah dan belajar. Itulah ujud intelektualisme dalam bentuk pendidikan. Di Makkah, beliau  menggunakan rumah Arqam bin Arqam sebagai tempat belajar. Di rumah inilah Rasulullah saw menyampaikan dasar-dasar agama dan mengajarkan Al-Qur’an kepada mereka. Masjid secara genetika merupakan tempat pengembangan intelektualisme, sejak guru terbesar Muhammad saw mengajar para sahabatnya di Madinah sampai masa kini.
Disamping masjid, Rasulullah menggunakan rumah beliau untuk mengajar para sahabat. Ada dua institusi pendidikan pada masa Rasul yaitu masjid dan rumah. Dua institusi inilah yang merupakan embrio intelektualisme dalam Islam.
Dalam perkembangan berikutnya, sejalan dengan perluasan daulah Islam dan besarnya minat kaum muslimin memasuki dunia pendidikan, masjid dan rumah sudah tidak mampu lagi menampung para calon intelektual muslim, berkembang menjadi Masjid Khan dan Kuttab. Menurut catatan Maksum, masjid khan adalah masjid yang dilengkapi dengan bangunan khan (asrama, pemondokan yang masih bergandengan dengan masjid). Berbeda dengan masjid biasa, masjid khan menyediakan tempat penginapan yang cukup representatif bagi para pelajar yang datang dari berbagai kota. Ia juga mengutip catatan Maqdisi bahwa Badr bin Hasanawaih al-Kurdi (w.1015) yang menjadi Gubernur di bawah kekuasaan Ad-Daulah, telah mendirikan sekitar 3000 masjid khan di beberapa wilayah. Abu Ishak, guru pada madrasah Nizamiyah di Bagdad, pernah aktif di masjid khan yang ditempati oleh sekitar sepuluh atau dua puluh murid yang berguru kepadanya.9)  Kuttab, merupakan rumah seorang guru yang menjadi tempat belajar dan dilengkapi dengan asrama tempat para siswa. Tokoh intelektual yang mengajar murid di kuttab antara lain Abu Al-Qasim Al-Balkhy yang memiliki ribuan murid. 10)
Pasca masjid khan dan kuttab, pendidikan Islam memasuki babak baru dalam bentuk madrasah dan al-jami’ah; diantara yang masyhur adalah :
  1. Baitul-aikmah di Bagdad yang didirikan pada masa khalifah Al-Makmun (198-202 H / 813-817 M), seorang khalifah penganut aliran Mu’tazilah.
  2. Perguruan Tinggi Al-Azhar di Kairo (359 H / 970 M), Dârul-Hikmah (395 H / 1005 M), dan Dârul-’Ilmi (403 H / 516 M) yang didirikan oleh Khalifah Bani Fatimiyah yang mengembangkan aliran Syi’ah.
  3. Bersamaan dengan lahirnya Al-Azhar di Kairo, universitas lainnya berkembang di Qawariyyun (Maroko) dan Zaituna (Tunisia)
  4. Madrasah Niýamiyyah yang didirikan oleh Niýâmul-Mulk seorang wazir pada pemerintahan Bani Saljuk yang juga seorang ilmuwan, yang menganut aliran Sunny pada tahun 1065-1067. 11)
Tradisi keilmuan Islam juga telah melahirkan kaum intelektual sejak generasi sahabat dan berlanjut dari satu generasi ke generasi sampai masa kini. Para intelektual muslim telah meninggalkan warisan keilmuan dalam bentuk karya tulis yang sangat berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Hampir di semua bidang ilmu muncul intelektual muslim yang memeloporinya, misalnya ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’y, dan Imam Ahmad Ibnu Hambal dalam bidang hukum dan teologi; Zunnun al-Mișri, Abu Yazid al-Bustami, al-Hallaj, dan al-Gazali dalam bidang tawawuf; al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih dalam bidang filsafat; Ibnu Haysam, Ibnu Hayyan, al-Khawarizmi, al-Mas’udi, dan al-Razi dalam bidang ilmu pengetahuan umum. 12)
Tradisi keilmuan Islam mengalami pasang surut. Setelah mengukir sejarah emas dalam masa sangat panjang dan berhasil menempatkan diri sebagai pusat ilmu dan budaya yang dijadikan nara sumber bagi para ilmuwan Eropa; akhirnya pada pertengahan abad ke XIII Masehi sampai tahun 1800 mengalami kemunduran intelektual. Masa itu tidak ada lagi penemuan keilmuan dari para ilmuwan maupun ulama Islam. Supremasi politik, budaya, dan keilmuan diambil alih oleh dunia Barat. Hegemoni Barat menguasasi daulah Islam. Sementara itu, ilmu pengetahuan di dunia Islam mengalami stagnasi. Umat Islam dipengaruhi sikap fatalistis.
Mulai tahun 1800, Islam memasuki dunia modern, Periode ini merupakan zaman kebangkitan Islam yang dimulai sejak ekspedisi Napoleon berhasil menduduki Mesir pada  tahun 1798 sebagai salah satu pusat terpenting di dunia Islam. Raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of power yang telah pincang. Dengan demikian timbullah apa yang disebut pemikiran dan aliran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam. 13)
Dengan belajar dari penjajah Eropa yang menguasai dunia Islam, serta berusaha lepas dari dari kungkungan tradisi dan berjuang untuk mencapai kemerdekaan dari hegemoni penjajah Eropa, para pembaharu Islam, dipelopori oleh Jamaluddin al-Afgani, Inbu Taimiyah dan Syekh Muhammad ’Abduh, menyusun gerakan reformasi Islam. Esensi ajarannya mengembalikan pola fikir, pola gerakan dan pandangan hidup muslim pada tauhid yang bersih.
III. TRADISI KEILMUAN SUNNY DAN SYI’IY
Tradisi Sunny dan Syi’iy tidak dapat dilepaskan dari doktrin-doktrin kedua aliran tersebut. Munculnya kedua aliran tersebut dipicu faktor politik yang berawal dari perbedaan konsep imamah. Dalam hal ini, Sunny mendasarkan pada prinsip musyawarah (ijma’) dengan mengembangkan kesepakatan-kesepakatan; sementara bagi Syi’ah, imamah kenabian ditunjuk oleh Allah SWT, dan imamah pengganti Nabi ditunjuk oleh Nabi yaitu kalangan keluarga Nabi (ahlul-bait). Hadis Nabi yang menjadi dasar doktrin imamah Syi’ah adalah : ”Aku tinggalkan apa yang akan menghindarkan kalian dari kesesatan selama kamu berpegang teguh padanya yaitu Kitab Allah, as-Sunnah, dan kerabatku ”.14) Konflik awal di bidang politik itu, selanjutnya berkembang pada masalah-masalah yang terkait dengan keagamaan dan pendidikan termasuk tradisi keilmuan yang dikembangkannya.
A.  Tradisi Keilmuan Sunny.
Sepanjang perjalanan historisnya, tradisi keilmuan Sunny terutama diabdikan kepada al-’ulûmud-dîniyyah yaitu ilmu-ilmu agama dengan penekanan khusus pada bidang Fikih dan Hadis. Ilmu-ilmu keduniaan khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta pada posisi marjinal. 15). Muhammad Jamil Hayat yang pendapatnya dikutip Maksum menambahkan tradisi keilmuan madrasah dengan al-’ulûmul-lisâniyyah yang mencakup ilmu bahasa dan sastra seperti ilmu Nahwu dan Șorf sebagai alat untuk medalami ilmu an-Naqliyyah. Dengan penekanan pada ’ulûmud-dîniyyah dan bahasa, mereka menolak Filsafat dan Mantik karena dianggap menyesatkan, sehingga banyak ulama Sunny yang mengarang buku untuk menolak ajaran tersebut. 16) Dalam kaitan ini, Azyumardi menyatakan bahwa ilmu-limu naqliyyah memberi ruang gerak untuk melakukan ijtihad –meskipun bukan dimaksudkan berfikir sebebas-bebasnya-. Ijtihad pada masa klasik bukan melatih berfikir rasional, melainkan bermakna memberikan penafsiran baru atau pemikiran independent yang tetap berada pada kerangka atau prinsip-prinsip doktrin yang mapan, dan telah disepakati.
Kesepakatan-kesepakatan yang dikembangkan tradisi Sunny, dapat dilihat pada berbagai bidang, seperti teologi, ilmu-ilmu al-Qur’an, ilmu-ilmu Hadis, bidang hukum, maupun tasawuf. Sesuai dengan karakter wasatan (mengambil jalan tengah), dalam bidang teologi, pemikiran Sunny bersifat eklektik. Masalah qada dan qadar yang menyangkut kehendak manusia mengikuti pemikiran Qadiriyah. Tentang dosa besar, memilih pendapat Murji’ah yang menyatakan bahwa sang pelaku tidak difonis kafir, malainkan fasik. 17) Tentang imamah yang terutama dalam kepemimpinan komunitas muslim setelah Nabi Muhammad saw adalah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Dalam hal Usman, tidak semua kaum Sunni sepakat ada dalam urutan ketiga, karena ada yang beranggapan kedudukan Ali lebih tinggi.18)
Kesepakatan dalam ilmu-ilmu al-Qur’an terwujud dalam bentuk dibakukannya qira’ah sab’ah yang meskipun tidak didukung semua komponen, secara yuridis formal telah didukung oleh pengadilan. Dalam bidang tafsir telah terbit tafsir At-Tabari karya mufassir besar Muhammad Ibnu Jarir at-Tabari yang menghimpun ulasan-ulasan para mufassir generasi sebelumnya dengan bermacam corak dan orientasinya. Dalam bidang ilmu-ilmu Hadis, sejak semula, kodivikasi hadis yang bermula pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz pada abad II, kaum Sunny telah mensepakati adanya enam (6) kitab kumpulan hadis-hadis sahih yaitu Al-Jami’ karya Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Turmużi, sertya kitab Sunan karya Imam Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Imam Nasai. 19)  Dalam bidang hukum, mazhab fikih yang dibakukan sebagai hasil konsensus yang dapat diterima dan diikuti sebagian besar masyarakat muslim adalah mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali dan mazhab Zahiriyah.20) Dalam bidang tasawuf, konsolidasi Sunny dipelopori Al-Ghazali yang telah merumuskan dan membangun tasawuf akhlak menjadi satu sistem universal di kalangan Sunny.
B.  Tradisi keilmuan Syi’iy.
Tradisi intelektualisme Syi’iy berbeda dengan Sunny yang  menekankan pada ’ulûmud-dîn. Intelektualisme Syi’ah dibangun atas perpaduan prinsip-prinsip dasar Islam dengan tradisi intelektual dan ajaran spiritual Persi. Tradisi ini menekankan pada filsafat dan sains. Hal ini nampak pada banyaknya ilmuwan Persi pada masa klasik seperti dikemukakan oleh Mehdi Amin Razavi dalam Pengantar editor buku The Islamic Tradition in Persi, karya Hossen Nasr yaitu Ibnu Rusydi seorang ahli Biologi dan dokter terkenal; Ibnu Sina sebagai ahli biologi, dokter dan filsuf; Al-Biruni, ahli biologi, astronomi, matematika, psikologi, kimia, dan obat-obatan; Sugrawardi, seorang filsuf dan sufi dengan konsepnya tentang al-isyraq. 21)
Tradisi keilmuan Syi’iy juga mendasarkan pada teologi Syi’ah yang menempatkan al-Qur’an dan Hadis sebagai fondamen pokok, dengan interpretasi model Syi’ah. Teologi Syi’ah mewujudkan doktrin imamah, kesyahidan dan dikotomi antara mustad’afîn (kaum tertindas) dan mustakbirîn (kaum penindas). Dalam penafsiran al-Qur’an dan Hadis, tradisi yang dikembangkannya berusaha menyesuaikan penafsiran ayat-ayat Allah dengan prinsip-prinsip mereka; misalnya tentang konsep imamah Imam Ali. Pengumpulan al-Qur’anpun hanya mengakui Imam Ali sebagai kodifikator. Tradisi tafsir Syi’ah dikembangkan tafsir isyari yang dilakukan para imam dan ulama Syi’ah. 22)  Dalam bidang Hadis, tradisi Syi’ah hanya menerima hadis-hadis dengan rawi dari muhadditsîn ahlul-bait (Syi’ah). Hadis-hadis mereka sebagian memuat justifikasi konsep imamah. Dalam bidang hukum Islam, mereka menempatkan Imam dan Ulama sebagai pengganti Rasul yang mempunyai otoritas yuridis.
Peran Imam dan Ulama nampak dalam konsep ”wilayah faqih dan marja’ taqlid”. Wilayah faqih adalah pemerintahan para fuqaha yaitu suatu bentuk negara Islam di mana kekuasaan sepenuhnya berada di tangan para fuqaha (mullah) yaitu mereka yang memiliki pemahaman ajaran dan peraturan Islam serta memiliki keutamaan dalam iman dan akhlak. Marja’ taqlid berarti orang atau kelompok orang yang memiliki otoritas yuridis dalam umat Syi’ah, sangat alim, yang fatwa-fatwanya mengenai syari’ah diikuti oleh mereka yang meyakininya dan praktik-praktik keagamaan yang dilakukannya selalu didasarkan pada fatwa-fatwa mereka. 23) Kedua konsep tersebut menunjukkan betapa tradisi Syi’ah dalam masalah hukum sangat menggantungkan pada otoritas ulama. Ada ketaatan yang luar biasa di kalangan komunitas Syi’ah terhadap ulama sebagai pengganti Imam yang menghilang sejak Imam ke duabelas. Dalam bidang tasawuf, tradisi mistiknya sangat kental. Para ulama Sufi dianggap mursyid, syekh, atau guru-guru sufi yang harus ditaati secara total. Banyak zawiyah-zawiyah dan ribat sebagai pusat komunitas sufi dari kalangan Syi’ah. Pemimpin mereka dianggap sebagai wali yang memiliki kekuatan spiritual sehingga dapat membangun komunikasi langsung dengan Allah. Tokoh tasawuf filsafat Sughrawardi juga berasal dari Persi yang mengajarkan al-Irsyraq.



IV. MODEL-MODEL PENDIDIKAN SUNNY DAN SYI’AH. 
Tradisi keilmuan, nampak jelas dalam institusi-institusi pendidikan. Ada berbagai macam variasi model-model pendidikan. Hasan Muhammad Hasan dan Nadyah Jamaluddin dalam bukunya Madâris at-Tarbiyyah fî adarah al-Islamiyyah, yang dikutip Maksum, menggambarkan corak dan model-model pendidikan yang berkembang pada masa klasik adalah :
1.      Failosuf menggunakan istilah : Dârul-ikmah, al-Muntadiyât, Hawanit, dan Warraqi’în.
2.      Mutașawwif menggunakan : az-Zawaya, ar-Ribat, al-Masâjid, dan alaqatuż-Żikr.
3.      Syi’iyyîn menggunakan : Dârul-ikmah, al-Masâjid, dan Pertemuan Rahasia.
4.      Mukallamîn menggunakan : al-Masâjid, al-Maktabah, Hawanit,al- Warraqi’în, dan al-Muntadiyât.
5.      Fuqahâ’ (dan ahli Hadis) menggunakan al-Katatib, al-Madâris, dan al-Masâjid.24)
Mencermati klasifikasi klasifikasi tersebut, dapat difahami bila sistem pendidikan Syi’ah mengambil model Dârul-ikmah, al-Masâjid, dan Pertemuan Rahasia; sedangkan Sunny mengambil model madrasah, masjid, dan kuttab. Menurut data tersebut, madrasah merupakan model khusus untuk Sunny,  sementara Syi’ah tidak ada model madrasah. Ada data lain yang dapat dijadikan komparasi yaitu temuan Al-Akbar Farhangi dalam disertasinya, dia menyebut, bahwa pada awal pertengahan abad 19 di Iran terdadapat lima institusi pendidikan yaitu : keluarga, masjid, pasar, maktab dan madrasah.25)
Melihat data tersebut, ternyata dalam tradisi pendidikan di kalangan Syi’ah madrasah merupakan model pendidikan masa modern. Istilah lain dari madrasah yang dikenal di Iran yaitu Hawzeh. Bagi kalangan Sunny, madrasah sebagai model pendidikan masa klasik. Dalam perkembangan berikutnya, madrasah merupakan model pendidikan tinggi. Al-Azhar, yang semula merupakan model al-jami’ah Syi’ah, dalam perkembangan berikutnya menjadi model pendidikan tinggi Sunny. Al-Jami’ah Syi’ah diwakili oleh Dârul-’Ilmi dan Dârul-ikmah; meskipun Azyumardi mengenggap bahwa institusi tersebut bukan al-jami’ah tapi pusat research.
Dalam tradisi Sunny, institusi pendidikan diarahkan pada pendidikan agama dengan tujuan agar siswa mengauasai ilmu-ilmu agama, disamping memiliki maksud untuk propaganda faham Sunny dalam rangka menghadapi ekspansi faham Syi’ah.26) Tujuan Hawzeh Syi’ah diarahkan agar siswa dan mahasiswa memiliki wawasan intelektual yang luas, untuk dapat memahami ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari sumber hukum yang diyakini sebagai rujukan dalam teologi Syi’ah yaitu al-Qur’an, Hadis-hadis Syi’ah, ijma’ ulama Syi’ah, dan ijtihad. 27)
Madrasah Sunny menekankan pada ’ulûmud-dîniyyah dan ’ulûmul-lisâniyyah. Mata pelajaran yang tercakup dalam ’ulûmud-dîniyyah yaitu Tafsir, Qira’at, Hadis, dan Usul Fikih. ’Ulûmul-lisâniyyah terdiri dari ’Ilmul-Lugah, ’Ilmun-NaÊwu, ’Ilmul-Bayân, dan Al-Adab. Menurut ’Atiyah al-Abrasyi, dalam madrasah diajarkan juga pengajaran agama Islam yang meliputi fikih empat mazhab, Tauhid dan Bahasa Arab. 28)
Sistem pendidikan pada Hawzeh Syi’ah bercorak Filsafat. Hawzeh, disamping mengajarkan ilmu-ilmu agama –yang meliputi Fikih, Usul Fikih, teologi Syi’ah, Al-Qur’an, Hadis, dan Akhlak, juga mengajarkan bahasa, logika dan filsafat yang disajikan secara bertahap menurut tingkat keilmuan. Diluar itu, juga menawarkan  mata pelajaran umum yang dikaji di luar kurikulum, dan dilaksanakan pada waktu-waktu luang di hari libur. Mata pelajaran dimaksud meliputi teologi skolastik, biografi, astronomi, sosiologi, psikologi, ideologi, dan bahasa Inggris. 29) Mencermati kurikulum Hawzeh, sebenarnya mengutamakan pada pendidikan agama, utamanya teologi Syi’ah dan kemampuan menetapkan hukum-hukum Islam. Posisi mata pelajaran bahasa, logika, dan filsafat, sebagai ilmu alat untuk memahami dan mengembangkan wawasan intelektual muslim. Ilmu-ilmu pengetahuan umum seperti psikologi, sosiologi, ideologi, posisinya sebagai ilmu bantu yang memang harus dikuasai oleh muslim dalam kontek studi Islam.
Dari sisi tingkat pendidikan, madrasah Sunny menerapkan jenjang pendidikan dengan sistem klas yang ditempuh siswa dari jenjang pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Administrasinya sudah diatur rapi. Masing-masing tenaga kependidikan memiliki peran sesuai fungsinya.
Ada yang berfungsi sebagai mudarris (pengajar), mu’id (asisten), dan wu’ad (tutor). Ada juga nazir atau wali yang mempunyai tanggung jawab terhadap aktifitas madrasah, dan dipilih dari orang-orang yang ahli di bidangnya masing-masing. 30)
Jenjang pendidikan bagi Hawzeh tidak mendasarkan pada kelas, tetapi pada kualitas ilmu. Mereka membagi menjadi program tingkat dasar, tingkat menengah, dan program tingkat tinggi. Tingkat dasar diajarkan ilmu-ilmu dasar dan ilmu alat seperti bahasa dan logika. Tingkat menengah diarahkan pada pada kemampuan membaca teks-teks tentang kaidah usul dan filsafat. Pada level ini, para pelajar diharuskan menyelesaikan buku tertentu. Tingkat tinggi diarahkan pada analisis dan pemecahan masalah di luar teks. Mahasiswa dilatih dan diajak mendiskusikan untuk dapat memahami dan menganalisa tradisi dan sejarah yang berhubungan dengan masalah-maslah tersebut. Akhir dari materi, mahasiswa diharapkan memiliki kecakapan dan wawasan intelektual yang luas, mendasarkan pada teologi Syi’ah. Sistem pendidikannya menerapkan sistem individual dan kelompok atau halaqah. Dalam mengajar, seorang ustaz mengkaji satu kitab yang ditunjuk, dari awal sampai akhir yang diikuti oleh para murid yang berminat. Metode yang digunakannya adalah metode diskusi, bukan ceramah. Mahasiswa diberi kebebasan untuk menanyakan dan menyanggah baik dengan sesama mahasiswa maupun dengan guru. Melalui cara ini, mereka dilatih untuk mengembangkan wawasan intelektual yang luas dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip yang diyakininya. 31)
Dengan mendiskusikan tentang filsafat dan pengetahuan lainnya, bukan berarti larut pada teori-teori Barat yang dipelajarinya, tetapi justru dicari titik lemahnya, untuk kemudian dirumuskan konsep kebenaran menurut teori-teori Islam dengan mendasarkan pada teoloi dan ijtihad model Syi’ah.
Mencermati dua tradisi Sunny dan Syi’iy semakin meyakinkan, bila kedua tradisi itu merupakan kekayaan peradaban Islam yang tidak perlu dipertentangkan. Untuk mempertemukannya juga banyak kendala, karena keduanya memiliki prinsip-prinsip ajaran yang diyakininya. Upaya saling memahami posisi dan peran masing-masing dalam peta keilmuan Islam sangat diperlukan, dengan maksud untuk bersama-sama mewujudkan masyarakat ilmiyah dengan tradisi intelektualisme Islam yang dikembangkannya. Upaya dialog terbuka untuk dapat saling memahami dan mentransver kelebihan masing-masing sangat membantu mengembangkan pola hubungan yang lebih mengutamakan pengembangan keilmuan Islam dalam sistem masyarakat ilmiah yang mengutamakan ukhuwah Islamiyah dalam rangka membangun dunia Islam; dalam sistem masyarakat ilmiyah yang mengutamakan ukhuwah Islamiyah dalam rangka membangun dunia baru Islam.




  1. V.    PENUTUP
Tradisi keilmuan Sunny dan Syi’iy dan model pendidikan madrasah dan Hawzeh merupakan kekayaan peradaban Islam yang bermuara dari tradisi keilmuan Islam yang diisyaratkan Al-Qur’an dan telah dikembangkan oleh Nabi Muhammad saw sebagai prototipe insan teladan.
Belajar dari tradisi keilmuan yang dikembangkan Sunny dan Syi’iy, kiranya perlu dikembangkan wawasan keilmuan Islam dengan paradigma baru yang berangkat dari hakekat  kebenaran  normatif  Islam sebagai agama wahyu, untuk menjawab tantangan ke depan dengan mengaktualisasikannya dalam gerakan intelektual sosio relegious.
Pengembangan keilmuan Islam diarahkan pada gerakan sosial keagamaan yang mengakomodasi semua bidang-bidang ilmu. Di Perguruan Tinggi Islam, mahasiswa diberi kebebasan untuk mengambil minimal dua bidang ilmu, yaitu ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu-ilmu kealaman. Basic science seperti bahasa, logika, matematika dan filsafat ilmu merupakan matakuliah wajib tempuh di semua program studi.
Pola hubungan keilmuan dengan mengembangkan komunikasi trans aksi, antara mahasiswa dengan dosen, mahasiswa dengan mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan analitis dan membuka wawasan intelektualisme yang lebih luas.
Yogyakarta, 18 Februari 2010























DAFTAR PUSTAKA.



 ’Abdul ’Aziz A schedina, Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi’ah, Bandung, Mizan, 1991.
Abdur Razaq Naufal, Ummat Islam dan Sains Modern, Bandung, Husain, 1987.
Abu Bakar Aceh, Syi’ah : Rasionalisme dalam Islam, Semarang, Ramadlani, 1980.
Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam, terj. Muhtar Yahya dan Sanusi Latif, Jakarta, Bulan Bintang, 1978.
Ali Akbar Farhangi, An Investigation of th Ideological Fondation and Administrative Structure of Higher Education in Iran from Islamic Madressahs to Western Style Universities, Disertasi pada Ohio University, Michigen, A Bell & Howell Information Company, 1992.
Aqiqi Bakhshayeshi, Ten decades of Ulama’s Struggle, Teheran, Islamic Propagation Organisation, 1985.
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibraim Husein, Jakarta, Bulan Bintang, 1979.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.
_______, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Jakarta,Logos Wacana Ilmu, 1998.
Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta, UI Pers, 1984
Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, terj. Djahdan Humam, Yogyakarta, Kota Kembang, 1989, ed. 1., cet. 1.
Hasbi Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang, 1986
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir Al-Qur’an, Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj Mochtar Z, Bandung, Pustaka, 1977.
Maksum, Madrasah : sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999.
Nouruzzaman Siddiqi, jeram-jeram Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999.
Otgomery Watt, Kajian Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, terj Hartono H., Yogyakarta, Tiara Wacana, 1990.
Reynold, Alleyne Nicholson, A Literary History of the Arabs, Delhi, Adam Publishers & Distributers, tth.
Sayed Husein Nashr, The Islamic Tradition in Persia, ed. Mehdi Amin Razavi, New Delhi, Curzon Press, 1996.
Syarafuddin Al-Musawi, Dialog Sunnah Syi’ah, Bandung, Mizan, 1983.

1) Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hal 12.
2) Hasan Ibrahim Hasan, Islamic History and Culture, terj Djahdan Humam (Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), ed 1, cet 1, hal 38.
3) Nourazzaman Siddiqi, Jeram-jeram Peradaban Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hal 47
4) Reynold, Alleyne Nicholson, Aliterary History of The Arabs (Delhi : Adam Publishers & Distributors, tth), hal. 336
5) Abu Bakar Aceh, Syi’ah, Rsionalisme dalam Islam (Semarang : Ramadlani, 1980), hal 27.
6) Abdur-Razaq Naufal, Ummat Islam dan Sains Modern ( Bandung : Husain, 1987), hal. 7
7) Hasbi Aș-Șiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta ; Bulan Bintang, 1986), hal. 69
8) Abdur-Razaq Naufal, Op.Cit, hal 23.
9) Maksum, Madrasah : Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), cet II, hal. 57.
10) Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam, (jakarta : Bulan Bintang, 1978), terj. Muhtar Yahya dan  Sanusi Latif, hal. 41.
11) Ibid, hal. 100; Maksum, Op.Cit, hal 59; Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Ibrahim Husein (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), hal. 38. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 52.
12) Azumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim & Pendidikan Muslim, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), hal. 52
13) Harun Nasution, Op.Cit., hal 89.
14) A Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah Syi’ah, (Bandung : Medan, 1983), hal 35, dan Ali Akbar Farhangi, An Invertigation of the Ideological Foundation and Administrative Structure of Higher Education in Iran from Islamic Madressahs to Western Style Universiies, disertasi pada Ohio University, (Michigan : A Bell & Howell Information Company, 1992), hal.58.
15) Azumardi Azra, Pendidikan Islam, Op.Cit, hal. 1x.
16) Maksum, Op.Cit., hal.69-70.
17) Nourozzaman, Op.Cit, hal 50.
18) Ontgomery Watt, Kajian Islam : Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, terj. Hartono H. (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990), hal. 182.
19) Ibid, hal. 184,186.
20) Nouruzzaman, Op.Cit., hal 49.
21) Sayyed Husein Nasr, The Islamic Tradition in Persia, ed. Mehdi Amin Razavi (New Delhi : Curzon Press, 1996), hal xiii
22) Mahmud Basuni Faudah, Tafsir Al-Qur’an, Perkenalan dengan Metode Tafsir, terj. Mochtar Z, ( Bandung : Pustaka, 1977), hal. 135
23) Abdul Aziz A Schedina, Kepemimpinan dalam Islam Perspektif Syi’ah, (Bandung : Mizan, 1991), hal. 12
24) Maksum, Op.Cit, hal.52
25) Ali Akbar Farhangi, Op.Cit. hal. 80.
26) Mahksum, Op.Cit. hal. 59.
27) Aqiqi Bahsyayeshi, Ten Dekades of ‘Ulama’s Struggle, (Teheran : Islamic Propagation Organisation, 1985), hal. 240.
28) Maksum, Op.Cit., hal. 71.
29) Aqiqi Bakhsyayeshi, Op. Cit., hal 240.
30) Maksum, Op.Cit., hal. 67.
31) Aqiqi Bakhsyayeshi, Op. Cit., hal 241

Tidak ada komentar:

Posting Komentar